Mohon tunggu...
Diaz Abraham
Diaz Abraham Mohon Tunggu... Jurnalis - Penyesap kopi, pengrajin kata-kata, dan penikmat senja

Peraih Best Feature Citizen Jurnalis 2017 dari PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) | Sisi melankolianya nampak di Tiktok @hncrka | Narahubung: diazabraham29@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Purnama tanpa Bintang

29 Agustus 2016   22:07 Diperbarui: 29 Agustus 2016   22:59 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bola mata ku nakal melihat rokok, aku jadi teringat 4 tahun lalu ketika Dina marah besar karena aku yang selalu membandel dengan rokok. "Perempuan mana yang sudi melihat pasangannya sakit akibat rokok. Lihat baru satu hari kita bersama, tapi kamu sudah menghabiskan 3 bungkus rokok!?" Katanya lantang.

Aku hanya terdiam kala itu di sebuah kamar yang kami sewa ketika berlibur ke Kota Batu, Malang. Udara dinginnya tak kuasa membuat ku untuk merokok, padahal aku tau bahwa dia tidak suka aku merokok begitu banyak.

Aku sadar, merokok itu banyak merugikannya dibanding manfaatnya. Namun aku sudah kecanduan sejak SD, kebiasaan itu sulit aku hilangkan. Mungkin seandainya tahun 1986 media masa sudah secanggih sekarang, nama ku sudah terpampang di halaman utama media dengan judul "Bocah SD kelas 1 Sudah Merokok 2 Bungkus per Hari".

Dina merupakan orang yang aku kenal ketika menjadi panitia musyawarah mahasiswa (Musma) komunikasi. Pada hari Sabtu 25 Desember 2010, ketua panita bernama Rian mengumpulkan para panitia di selasar Universitas Harapan Bangsa (UHB).

Seluruh anggota mulai saling memperkenalkan diri, sampai tiba saat diriku berkenalan dengannya. “Faris, kataku sambil mengulurkan tangan kepada Dina. Kemudian Dina menyambar permintaan jabat tangan ku dengan mengulurkan tangan kanannya, aku Dina kak, sambil melemparkan senyum manisnya,”.

Kembali ku seruput kopi hitam di atas pinggiran toren tadi, panasnya mulai berkurang diterpa angin yang yang berhembus kencang. Walaupun tidak sepanas seperti pertama aku meminumnya, suhunya masih terasa di tenggorokan.

Rokok di tangan kiri kembali ku hisap, saking panjangnya abu yang menempel di ujung bara api, dengan sendirinya abu itu terjatuh ke genting rumah yang persis dibawah kaki kiri ku. Kembali aku mengenang kedekatan dengan Dina 6 tahun lalu di tahun 2010, mengacu pada tahun aku menulis catatan kecil ini.

Aku yang sangat membenci organisasi diminta oleh Ketua Prodi Ilmu Komunikasi untuk masuk ke pengurusan Himpunan Mahasiswa Komunikasi periode 2010-2011. Alasannya mudah, karena masuk kesebuah organisasi kita tidak bisa bergaul, mengapa? Karena kita dipaksa untuk tunduk dengan ideologi organisasi yang kita ikuti dan setiap organisasi memiliki ideologinya masing-masing. Sehingga sangat sulit untuk menemukan titik temu jika kita berbicara dengan penganut organisasi lain.

Di UHB banyak sekali organisasi ekstra kampus yang berhaluan Islam tulen macam HMI, atau Islam yang mengusung penghormatan kepada seluruh agama macam PMII. Ada pula organisasi yang dipayungi oleh parpol macam Liga Mahasiswa Nasdem bahkan organisasi berhaluan "kiri" macam HAMAS juga tersedia disana. Saking kirinya, ada anggota Hamas berkata "seandainya khotbah Jumat bisa di Interupsi, gue bakal masuk mesjid dan mengkritik kata-kata sang penceramah".

Perdebatan didalam ruang Ka. Prodi terjadi antara aku dan Ibu Yayu, selaku Kaprodi Komunikasi. Akhirnya aku luluh, dia menjelaskan organisasi intra kampus berbeda dengan organisasi ekstra. Organisasi Intra kampus macam Himakom bergerak untuk memberikan edukasi dan kegiatan bagi mahasiswa.

Sementara keseganan untuk masuk dalam kepengurusan Himakom lantaran ketuanya yang terpilih bernama Rahayu berasal dari organ HMI. Jelas ini teramat sulit, karena aku tidak menampik, haluan politik yang aku anut adalah "kiri". Sempat pula aku menganut atheis, karena sering mengkaji ayat demi ayat lewat akal serta membaca buku tokoh terkenal macam Tan Malaka, Marx, dan Lenin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun