Mohon tunggu...
Diaz Abraham
Diaz Abraham Mohon Tunggu... Jurnalis - Penyesap kopi, pengrajin kata-kata, dan penikmat senja

Peraih Best Feature Citizen Jurnalis 2017 dari PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) | Sisi melankolianya nampak di Tiktok @hncrka | Narahubung: diazabraham29@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bunga Kayu yang Ingin Merdeka Tanpa Tanda Kutip

11 Agustus 2016   13:19 Diperbarui: 14 Agustus 2016   20:45 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mempersiapkan hari kemerdekaan amatlah penting, tapi apakah Proklamasi hanya di simbolkan saja? Persiapan kita menyambut 71 tahun kemerdekaan itu hanya dari lambang saja? 

Mungkin, jika para pejuang kita melihat kenyataan yang ada sekarang akan menangis melihat negara yang di cita-citakannya luluh lantah. Apa sebab? Cita-cita yang ada di batang tubuh pancasila hingga kini belum lancar digalakkan. 

Bagaikan bendera yang tadinya bersih, gagah, kuat menghadapi terpaan angin kini berubah menjadi lusuh dan compang camping karena tidak diraeat oleh sang pemilik. 

Begitupun dengan negara ini, semangat reformasi dan cita-cita pancasila seakan tak di perdulikan laagi. Negara ini menjadi lusuh walau umurnya hampir 71 tahun. Indonesia kini butuh kerja nyata bukan hanya simbol kecintaan. Tapi perjuangan nyata mewujudkan kecintaan itu.  

Sang saka kini sedang sakit, sakit yang tak kunjung terobati. Sakit karena melihat rakyatnya dibuat sakit oleh para politikusnya. Rakyat juga semakin kaya, kaya akibat kemiskinannya. Politikus kini terus bekerja, bekerja karena partai bukan karena rakyat yang memilihnya.  

Kawan menyala, ya aku selalu ditemani oleh kawan menyala ketika menikmati hembusan angin di balkon depan kamar ku. Terkadang secangkir kopi hitam berada di samping, sama seperti kali ini.  

Seruput kopi membawa rasa yang nikmat. Paduan kopi dan rokok tadi semakin mantap tatkala angin tak hentinya menerpa wajahku.  

Kembali lagi aku melihat bunga kayu tadi yang kini gagah berkibar. Bambu kembali doyong akibat angin yang bertiup kencang, tetapi dia tetap kuat bertahan. Sang saka semakin kencang berkibar, pengikat bambu dan bendera itu mencengkram kuat seakan tak mau dilepaskan. 

Aku berpikir tentang sistem negara ini juga seperti itu. Sang Saka adalah Indonesia, tiangnya adalah elite politik yang ada di kabinet maupun parlemen. Pengikatnya adalah Pancasila, sebagai landasan hidup bangsa Indonesia. Masyarakat adalah pemilik rumah, karena demokrasi menghendaki kekuasaan berada di tangan rakyat. Angin yang bertiup sebagai ganjalan menuju gerbang "kemerdekaan" itu. 

Seandainya pelajaran dari bunga kayu ini benar-benar di resapi oleh masyarakat kita, pastilah harmoni selalu mengiringi langkah negara ini. Tidak ada yang namanya pembunuhan antar masyarakat, isu SARA, disintegrasi yang menyebabkan satu daerah ingin memisahkan diri, korupsi semakin kecil terjadi karena elite politiknya sadar betul bahwa posisinya tidak mungkin hadir tanpa ada rakyat dan negara juga membutuhkan semua elemen di dalamnya.  

Aku melongok secangkir kopi hitam itu. Aku merasa ada ampas yang masih mengapung diatasnya, dan benar saja ampas kopi itu masih ingin bermain diatas permuakaan air. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun