Lebaran atau Idul Fitri merupakan salah satu agenda besar bagi masyarakat Indonesia bahkan dunia. Bagi orang Indonesia, lebaran memiliki makna penting untuk saling memaafkan dan menemui sanak keluarga di kampung halaman.
Kegiatan mengunjungi sanak saudara di kampung tersebut biasa dikenal dengan mudik. Mudik sendiri terjadi karena banyak masyarakat di Indonesia merantau atau melakukan transmigrasi ke berbagai daerah. Maklum saja transmigrasi merupakan salah satu model pemerintah untuk memajukan daerah tertinggal dengan memindahkan penduduk daerah padat ke daerah yang jarang penduduknya.
Mereka yang mengikuti program transmigrasi diiming-imingi berbagai kemudahan di kota tempat tinggal barunya yaitu modal usaha atau tanah garapan. Transmigrasi sendiri sebenarnya telah ada sejak zaman penjajahan, ketika para penjajah (ambil contoh masa pendudukan Belanda) masuk ke Indonesia, mereka menggunakan penduduk pribumi sebagai budak. Pemerintahan Kolonial waktu itu mencomot secara acak penduduk dari pulau jawa dan luar jawa seperti Bali untuk bekerja di Batavia.
Dari deskripsi tersebut terlihat bahwa transmigrasi memang telah menjadi model kuno dalam memajukan sebuah daerah. Tetapi ketika Indonesia merdeka, transmigrasi dipoles lebih manusiawi dengan memberikan modal usaha bagi orang yang mau melakukan transmigrasi.
Selain karena model transmigrasi yang umum digunakan sejak zaman kolonial Belanda hingga Orde Baru ala Soeharto, mudik terjadi lantaran banyak orang Indonesia merantau ke luar daerah. Mereka (para perantau) biasanya nekat pergi dari kampung halaman menuju kota.
Para perantau biasanya jenuh dengan lapangan pekerjaan di desa yang kurang, sehingga dengan modal nekat mereka menuju kota. Selain itu para perantau juga sering diajak oleh sanak saudara maupun teman untuk ke kota seperti Jakarta yang menawarkan kemewahan.
Lain lagi dengan orang Padang, sebagian besar orang Minang memang merantau untuk bertahan hidup, apa lagi para lelakinya. Hal ini biasanya merupakan dorongan orang tuanya yang ingin melihat anaknya sukses karena keberhasilan mereka sendiri tanpa bantuan orangtuanya.
Tapi kali ini penulis tidak mau membahas soal transmigrasi dan perantau, tulisan kali ini akan menitik beratkan pada agenda mudik lebaran yang menjadi Headline di berbagai media massa di Indonesia saat arus mudik dan arus balik berlangsung. Mari ambil contoh di media massa televisi, setiap harinya, selama arus mudik dan arus balik berlangsung, mereka malakukan siaran langsung dari lokasi titik-titik rawan kemacetan.
Mari kita sama sama mengingat tentang kengerian gerbang keluar tol Brebes atau Brexit, siapa yang tidak tahu mengenai kemacetan sepanjang 8 Km di sana dan memakan 12 nyawa? Berbondong-bondong media massa khususnya media online memberitakan pemberitaan yang bombastis ini. Beragam tanggapan bermunculan dari berbagai warga termasuk pemerintahan.
Salah satu portal berita online di Indonesia membuat judul yang sensasional menurut saya yaitu “12 Orang Meninggal Dunia Akibat Terjebak Macet Horor di Brebes”. Lalau bandingkan dengan pemberitaan media online lainnya.
Kedua berita yang dinaikkan oleh editor di masing-masing media tersebut berbeda sudut pandang, seakan keduanya saling bertolak belakang. Media satu mengangkat kematian pemudik akibat kemacetan dan satunya menonjolkan unsur pembelaan dari pemerintah sebagai pihak yang wajib bertanggung jawab untuk mempersiapkan kelancaran prosesi mudik yang tiap tahun pasti terjadi.
Tapi yang membuat miris adalah berita pertama terlihat menjatuhkan pemerintah dan men-judge sebuah peristiwa. Hal ini sangat disayangkan mengingat nama besar media massa tersebut tetapi maaf, menurut saya judul tersebut sangat keliru dan berlebihan atau biasa disebut offside.
Kekeliruan editor di media tersebut bisa saya tunjukkan. Jika Kompasianer membuka tautan yang saya berikan di dalam artikel ini, maka kalian akan melihat kolom nomor dua. Di sana tertulis sakit keras.
Berbeda halnya jika editor media tersebut membuat judul “Diduga Kelelahan Akibat Macet Brexit, 12 Orang Ini Meregang Nyawa”. Kata kuncinya adalah “diduga”, kata tersebut merupakan dugaan awal karena jika dilihat dari berita yang diterbitkan belum ada klarifikasi resmi dari rumah sakit atau pun keluarga korban yang tahu persis dengan riwayat penyakit korban serta situasi saat korban meregang nyawa.
Kenapa penulis katakan keliru? Karena di dalam dunia jurnalistik sangat dilarang menambahkan opini ke dalam tulisan seorang wartawan. Karena opini mampu merubah gambaran mengenai sebuah peristiwa yang terjadi.
Wartawan juga dituntut untuk menulis sebuah berita secara objektif, tudingan yang terlihat dalam artikel tersebut menunjukan bahwa media online tadi menunjukan adanya sebuah pandangan yang digeneralisasikan padahal tidak semuanya demikian, dalam hal ini 12 orang yang meninggal bukan diakibatkan karena kemacetan karena ada yang meninggal karena sakit keras sebelumnya.
Lalu alasan lainnya adalah, berita tadi bisa jadi bumerang untuk portal berita online tadi. Dahulu penulis memiliki rekan yang mengalami hal serupa. Ketika penulis mendapat penugasan meliput di DPR, rekan penulis di sana mendapat teguran dan diancam dibawa ke meja hijau oleh salah seorang anggota dewan. Peristiwa ini terjadi lantaran rekan penulis menggeneralisasi bahwa anggota DPR tersebut banyak alasan karena tidak menghadiri rapat di DPR.
Jika dilihat kedua kasus ini hampir sama, keduanya menggeneralisir sebuah peristiwa. Lalu bisa jadi portal berita yang menuduh 12 orang meninggal akibat kemacetan tadi dituntut oleh pihak yang merasa dirugikan.
Mari kita kembali ke awal, melihat ke judul artikel ini yaitu kekuatan jurnalisme warga di banding jurnalis konvensional. Izinkan penulis untuk memberikan beberapa unsur dari sebuah nilai berita, yang utama adalah aktualitas, fakta, dan kedekatan.
Berita yang aktual adalah berita terkini tidak basi jika dinikmati oleh para khalayak. kemudian berlandaskan pada fakta di lapangan, tentu saja sebuah berita harus fakta karena jika bukan fakta apa bedanya wartawan dengan penulis untuk mengisi kolom infotaimen yang berisi kasus-kasus yang belum jelas asal mulanya.
Terakhir adalah kedekatan, kedekatan maksudnya adalah dekat dengan pembaca. Pembaca sebagai pasar jika boleh dikatakan secara kasar, adalah sumber utama penjualan media massa sehingga mereka berlomba-lomba membuat para khalayak selalu setia menikmati produk buatan media massa tersebut. Dengan berita yang sering di lihat atau dirasakan oleh pembaca maka para pembaca semakin ingin tau soal berita tadi.
Mari kita ambil contoh berita soal gonjang ganjing menuju DKI 1. Apakah berita tersebut akan sangat banyak pembacanya jika diterbitkan di Aceh? penulis rasa tidak, karena berita soal Aceh 1 pasti akan menarik karena peristiwa tersebut berkaitan erat dengan kehidupan sehari-hari warga di Aceh.
Lalu apa kekuatan jurnalisme warga? Kedekatan menjadi kunci dari semuanya, kedekatan dengan sebuah peristiwa menjadi pembeda dan kekuatan tersendiri bagi jurnalisme warga. Kedekatan penulis dengan sebuah peristiwa membuat keanekaragaman ide dan fakta unik serta baru timbul sudut pandang sebuah tulisan menjadi produknya.
Mari ambil contoh di Kompasiana. Banyak sekali Kompasianer mulai dari Itali, Rusia, Timteng, Hong Kong, dan negara lain yang menulis mengenai kehidupan di sana. Mereka menuliskannya dari sudut pandang yang berbeda dengan orang yang hanya ke negara tersebut untuk sebatas menginap seminggu atau beberapa hari.
Kedekatannya menjadi pembeda, karena Kompasianer tadi sering melihat dan mengalami peristiwa tadi secara terus menerus sehingga banyak sekali sumber tulisan yang bisa diangkat dan terkadang tulisan itu berbeda dengan media konvensional yang sering menggunakan sumber tulisannya melalui otoritas setempat atau mungkin juga sensasi pengalaman di sana dengan “bumbu penyedap” narasumber tulisan.
Dapat dibayangkan jika nantinya para jurnalis warga tadi bisa mendapat akses seperti wartawan untuk mendapat kemudahan mewawancarai seorang tokoh pemerintahan, pasti kiblat jurnalisme akan terpecah menjadi dua kutub, antara fakta dan opini atau interpretasi (merujuk pada produk jurnalisme warga yang di bumbui opini tetapi tetap memperhatikan sebuah fakta).
Nyatanya jika diberdayakan, produk jurnalisme warga mampu bersaing dengan produk jurnalisme konvensional yaitu berita. Ingat jika nilai berita salah satunya adalah aktual, bayangkan jika jurnalisme warga langsung mengabadikan sebuah peristiwa. Unsur aktual tadi sudah dimiliki oleh orang yang bergelut di jurnalisme warga.
Mungkin banyak dari kita sering melihat berita soal begal atau tindakan kriminal di sekitar kita, jika para jurnalisme warga cepat mengabadikan mau pun menuangkan peristiwa tersebut dalam sebuah tulisan, video, maupun foto di tambah dengan perangkat media massa sebagai wadah penyaluran penggambaran di lapangan tadi mendukung kecepatan mau pun kemudahan dalam mengunduh, mengedit, maupun menayangkan produk yang dibuat oleh jurnalisme warga, keaktualan sebuah berita pasti akan didapatkan.
Bisa saja produk berita jurnalisme konvensional yaitu berita bisa kalah karena mereka menunggu kabar dari kepolisian tentang sebuah peristiwa. Polisi juga mengetahui kejadian tersebut dari saksi di lapangan yaitu warga. Dapat disimpulkan dengan kedekatan warga terhadap satu peristiwa menjadi unsur aktualitas yang mungkin tidak dapat dimiliki oleh media konvensional lainnya.
Fakta juga penting bagi produk jurnalisme warga, karena semua yang ditayangkan media massa pasti dilihat oleh para penikmatnya karena sekarang media massa sangat dekat dengan masyarakat. Jika fakta itu tidak ditonjolkan oleh produk jurnalisme warga, bisa jadi khalayak yang menikmati produk tersebut ada yang protes akibat merasa dirugikan.
Tetapi hal tersebut jika dilakukan penyegaran-penyegaran bisa jadi berakibat fatal. Misalnya saja jika jurnalisme warga mendapatkan akses luas dan mampu bertemu dengan pesohor negeri, mereka bisa saja menyalahgunakan akses tersebut. Yang tadinya mendapatkan informasi lebih terperinci dan jelas menjadi corong penguasa semata karena para jurnalisme warga tadi sudah disumpal kreativitasnya dengan uang.
Lalu kita lihat di beberapa paragraf tadi yang menyatakan soal perbedaan sudut pandang antara yang pro pemerintah dan kontra pemerintah, jika saya boleh mengatakannya. Jurnalisme warga harus jadi penengah antara keduanya. Bukan hanya penengah tetapi sebuah jembatan yang menyegarkan pandangan masyarakat terhadap kasus tadi.
Walaupun opini sering kali menyertai prosuk jurnalisme warga tetapi opini itu di rasakan langsung oleh pembuat produk jurnalisme warga tadi. Dengan pengalamannya serta mungkin saja jika beruntung para jurnalis warga tadi dekat dengan lokasi kejadian bahkan menjadi saksi kejadian membuat produknya sendiri dengan video dan foto yang real di lapangan sebagai salah satu penguat bahwa apa yang dibuatnya adalah sebuah fakta karena foto dan videonya dalah buatannya sendiri dan bercerita.
Kembali ke contoh kasus yang pro dan kontra pemerintah, jembatan yang dimaksudkan penulis adalah penghubung antar keduanya. Karena jurnalis warga berada di lokasi sehingga dekat dengan kejadian. Mereka juga bisa mengulik lebih jauh soal profil korban jiwa tadi mulai dari nama lengkap, umur, alamat, asal, tempat tinggal, dan riwayat kematian.
Kalau kita lihat dari kedua berita tadi tidak ada yang menerangkan dengan jelas profil dari masing-masing korban. Di sinilah faktor kedekatan yang menjadi pembeda utama jurnalis warga dan jurnalis konvensional bermain.
Aktualitasnya juga terjamin jika para jurnalisme warga langsung menayangkannya di media massa tentunya di dikung dengan wadah yang pas karena teknologi di gadget sekarang sudah canggih dan mampu menjangkau hampir sebagian feature pendukung. Foto dan video ekslusif yang diambil langsung dari lapangan sudah menjadi modal besar faktor keabsahan liputan di samping narasinya.
Jurnalisme warga pada hakekatnya merupakan produk jurnalistik yang berbasis pada warga dan kekuatan utamanya adalah kedekatan tadi, sehingga jelas sekali jurnalisme warga sebenarnya tidak bisa dianggap remeh dan mari kita bangun jurnalisme warga untuk mengawal demokrasi.
Baik demokrasi bagi dunia perpolitikan kita, maupun kebebasan pers sebagai perlambang jalannya sistem demokrasi di Indonesia yang seperti penulis utarakan di atas yaitu sebagai "jembatan". Jembatan yang menjembatani berita yang saling tuding, agar adanya penyegaran berita sekaligus mengawal jalannya kebebasan pers tadi agar tidak kebablasan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI