Mohon tunggu...
Diaz Abraham
Diaz Abraham Mohon Tunggu... Jurnalis - Penyesap kopi, pengrajin kata-kata, dan penikmat senja

Peraih Best Feature Citizen Jurnalis 2017 dari PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) | Sisi melankolianya nampak di Tiktok @hncrka | Narahubung: diazabraham29@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Udah Gak Zaman ke Jakarta, Yuk Bangun Kampung Sendiri

11 Juli 2016   20:22 Diperbarui: 12 Juli 2016   07:16 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kebijakan ini sangat ditakuti oleh para pendatang, karena setiap hari para petugas datang ke rumah-rumah penduduk mengecek identitas warganya. Jika di dapati masyarakat tanpa identitas Jakarta, mereka akan dipulangkan. 

Kebijakan Jakarta sebagai kota tertutup pernah dipakai Belanda saat menguasai sebagian besar wilayah Indonesia. Saat itu Batavia, sebutan Jakarta waktu diduduki Belanda, ditetapkan sebagai kota tertutup. 

Kebijakan ini di berlakukan bukan animo masyarakat yang ingin tinggal di Jakarta, tetapi banyak sekali kerajaan dan negara lain juga mengingin kan kota pelabuhan tersebut. Sebut saja Kerajaan Banten, Kerajaan Demak, dan Inggris ingin menguasai kota dengan pelabuhan tersibuk di masanya.

Untuk menghadapi ancaman itu, Belanda menutup kota yang punya potensi pergolakan atau penyusup masuk ke dalam kota. Untuk itu pemerintahan membuat benteng di sekitaran kota untuk menghadapi bahaya disekelilingnya. 

Ketika pengganti Sadikin, Cokropranolo berkuasa dari 1977-1982, penggusuran dan pemulangan kembali para pendatang menjadi berkurang. Dirinya berbeda dengan pendahulunya, Cokropranolo lebih melakukan pendekatan sosio-religius. 

Pada eranya, dia mendorong usaha kecil untuk memberikan pertambahan ekonomi bagi penduduk miskin. Becak dan pedagang kaki lima di biarkan melakukan usahanya. Padahal di era Sadikin dan "Bapaknya" yaitu Soekarno, sangat keras menentang pekerjaan yang terlihat merendahkan kaum marhaen sebutan orang miskin Indonesia. 

Untuk mengurangi beban jakarta dengan kaum urbannya, akhirnya pemerintah memberlakukan proyek metropolitan yang berbasis pada regional yaitu Jabotabek. Hal ini dilakukan untuk meratakan pertumbuhan di daerah sekitaran Jakarta. Wilayah itu meliputi Jakarta Bogor Tanggerang dan Bekasi di tahun 1977.

Gubernur Letjen Suprapto yang menggantikan Cokropranolo sangat berbeda gaya kepemimpinannya. Saat dia berkuasa, dirinya sangat tegas terhadap para pendatang pengusiran dan perataan bangunan-bangunan liar menjadi pemandangan umum di kota. Pada tahun 1985 terjadi pengusiran paksa terburuk, sebanyak 5.000 orang di usir secara paksa. 

Sekarang di era Ahok, banyak sekali yang terjadi. Penggusuran di mana-mana teruntama penggusuran bangunan liar. Penghancuran bangunan ini diperuntukan untuk membangun infrastruktur kota. Banyak warga yang geram akan hal tersebut, banyak warga berdemo hingga bermunculan meme dan heters. 

[caption caption="megapolitan.kompas.com"]

[/caption]Ahok juga memberikan modal bagi kota penyangga Jakarta seperti Jababeka untuk pemerataan ekonomi. Dari sana diharapkan pendatang tidak lagi menuju Jakarta melainkan ke kota-kota satelit Ibu Kota. 

Pemerintah pusat juga berkomitmen untuk melakukan pemerataan pembangunan di seluruh wilayah. Mulai dari pembangunan infrastruktur seperti pembuatan transportasi umum atau yang paling diingat adalah tol laut. Dengan digalakannya transportasi pendukung, diharapkan ekonomi di setiap pulau di Indonesia menjadi setara atau setidaknya lebih baik dari pada sebelumnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun