Mohon tunggu...
Diaz Abraham
Diaz Abraham Mohon Tunggu... Jurnalis - Penyesap kopi, pengrajin kata-kata, dan penikmat senja

Peraih Best Feature Citizen Jurnalis 2017 dari PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) | Sisi melankolianya nampak di Tiktok @hncrka | Narahubung: diazabraham29@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Udah Gak Zaman ke Jakarta, Yuk Bangun Kampung Sendiri

11 Juli 2016   20:22 Diperbarui: 12 Juli 2016   07:16 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="www.republika.co.id"][/caption]Arus balik lebaran memang sudah berakhir kemarin, tetapi arus balik sendiri masih menyimpan satu momok besar bagi Jakarta yaitu pertambahan penduduk. Pertambahan penduduk "dadakan" sering terjadi di Jakarta, ini terjadi lantaran banyak warga Jakarta yang membawa oleh-oleh dari kampung halamannya berupa manusia.

Iya, memang benar, Jakarta menjanjikan banyak mimpi bagi manusia Indonesia. Jakarta sebagai Ibu Kota Negara sekaligus pusat ekonomi Indonesia memberikan banyak pembaruan dan terutama lapangan pekerjaan yang sulit didapat di kampung halaman.

Hal ini memang menjadi kelebihan Jakarta dibanding dengan kota lain sekaligus ironi. Jakarta sebagai maskot di sisi lain menanggung perekonomian Indonesia dan manusia-manusia di dalamnya.

Apakah kalian masih ingat dengan terkuaknya pengemis beromset puluhan juta ketika dirazia oleh petugas Satuan Pamong Praja? Itu membuktikan betapa mudahnya mendapatkan uang di Jakarta. 

Lihatlah kemacetan yang selalu menjadi momok Jakarta di waktu sibuk, saat jam masuk dan pulang kerja, itu menunjukan bahwa banyak warga dari sekitaran Jakarta seperti Jabodetabek yang mengadu nasib di Jakarta. Kenapa demikian? Lapangan pekerjaan yang belum merata menjadi penyebabnya.

Dampak lain dari banyaknya pendatang dengan keahlian yang kurang adalah semakin maraknya kriminalitas di Jakarta. Bayangkan saja setiap hari di semua media masa selalu didapati berita tentang kriminalitas yang makin hari makin mengerikan di Jakarta. 

Kepadatan penduduk juga mengundang maraknya bangunan-bangunan liar di Jakarta. Kita pasti. Sering mendapati bangunan-bangunan di sepanjang rel kereeta yang jelas-jelas tidak diperuntukan di bangun rumah. 

Lebih mengenaskan lagi jika Kalian adalah pengguna moda transportasi kereta api. Jika kalian sering menggunakan kereta arah Stasiun Tanah Abang, pasti melewati stasiun karet yang tak jelas rimbanya.

[caption caption="m.tempo.co"]

[/caption]Disana ada smsebuah jembatan yang dibawahnya adalah Sungai Banjir Kanal Barat. Di bawah jembatan tersebut, boleh di tengok, ada beberapa warga yang menggunakannya sebagai tempat tinggal. 

Masalah urbanisasi ini memang sudah terjadi sejak jaman dahulu, berbagai kebijakan pun sudah dilakukan. Walaupun begitu, masalah kepadatan penduduk masih saja terjadi.

Zaman Ali Sadikin, masalah kepadatan penduduk ini ditanggapi dengan pemberlakuan "Kota Tertutup". Kebijakan ini dimaksudkan sebagai usaha pemerintah Jakarta untuk menangkal pendatang yang datang ke Jakarta. 

Kebijakan ini sangat ditakuti oleh para pendatang, karena setiap hari para petugas datang ke rumah-rumah penduduk mengecek identitas warganya. Jika di dapati masyarakat tanpa identitas Jakarta, mereka akan dipulangkan. 

Kebijakan Jakarta sebagai kota tertutup pernah dipakai Belanda saat menguasai sebagian besar wilayah Indonesia. Saat itu Batavia, sebutan Jakarta waktu diduduki Belanda, ditetapkan sebagai kota tertutup. 

Kebijakan ini di berlakukan bukan animo masyarakat yang ingin tinggal di Jakarta, tetapi banyak sekali kerajaan dan negara lain juga mengingin kan kota pelabuhan tersebut. Sebut saja Kerajaan Banten, Kerajaan Demak, dan Inggris ingin menguasai kota dengan pelabuhan tersibuk di masanya.

Untuk menghadapi ancaman itu, Belanda menutup kota yang punya potensi pergolakan atau penyusup masuk ke dalam kota. Untuk itu pemerintahan membuat benteng di sekitaran kota untuk menghadapi bahaya disekelilingnya. 

Ketika pengganti Sadikin, Cokropranolo berkuasa dari 1977-1982, penggusuran dan pemulangan kembali para pendatang menjadi berkurang. Dirinya berbeda dengan pendahulunya, Cokropranolo lebih melakukan pendekatan sosio-religius. 

Pada eranya, dia mendorong usaha kecil untuk memberikan pertambahan ekonomi bagi penduduk miskin. Becak dan pedagang kaki lima di biarkan melakukan usahanya. Padahal di era Sadikin dan "Bapaknya" yaitu Soekarno, sangat keras menentang pekerjaan yang terlihat merendahkan kaum marhaen sebutan orang miskin Indonesia. 

Untuk mengurangi beban jakarta dengan kaum urbannya, akhirnya pemerintah memberlakukan proyek metropolitan yang berbasis pada regional yaitu Jabotabek. Hal ini dilakukan untuk meratakan pertumbuhan di daerah sekitaran Jakarta. Wilayah itu meliputi Jakarta Bogor Tanggerang dan Bekasi di tahun 1977.

Gubernur Letjen Suprapto yang menggantikan Cokropranolo sangat berbeda gaya kepemimpinannya. Saat dia berkuasa, dirinya sangat tegas terhadap para pendatang pengusiran dan perataan bangunan-bangunan liar menjadi pemandangan umum di kota. Pada tahun 1985 terjadi pengusiran paksa terburuk, sebanyak 5.000 orang di usir secara paksa. 

Sekarang di era Ahok, banyak sekali yang terjadi. Penggusuran di mana-mana teruntama penggusuran bangunan liar. Penghancuran bangunan ini diperuntukan untuk membangun infrastruktur kota. Banyak warga yang geram akan hal tersebut, banyak warga berdemo hingga bermunculan meme dan heters. 

[caption caption="megapolitan.kompas.com"]

[/caption]Ahok juga memberikan modal bagi kota penyangga Jakarta seperti Jababeka untuk pemerataan ekonomi. Dari sana diharapkan pendatang tidak lagi menuju Jakarta melainkan ke kota-kota satelit Ibu Kota. 

Pemerintah pusat juga berkomitmen untuk melakukan pemerataan pembangunan di seluruh wilayah. Mulai dari pembangunan infrastruktur seperti pembuatan transportasi umum atau yang paling diingat adalah tol laut. Dengan digalakannya transportasi pendukung, diharapkan ekonomi di setiap pulau di Indonesia menjadi setara atau setidaknya lebih baik dari pada sebelumnya. 

Lalu buat apa lagi ke Jakarta? Alangkah baiknya para pendatang mulai berfikir untuk membangun kotanya. Karena inovasi dari anak muda sangat dibutuhkan. Apa lagi sekarang pembangunan selalu di barengi dengan teknologi yang tidak semua orang lanjut usia memiliki pengetahuan akan hal tersebut.

Jika para anak muda mau berinovasi dan membuka lapangan usaha sendiri, bukan tidak mungkin urbanisasi masal tidak berlanjut. Ditambah dengan kebijakan industri kreatif yang digalakkan sejak jaman Presiden SBY berkuasa. 

Industri kreatif menjadi satu tumpuan Indonesia dalam melakukan ekspor barang. Hal ini terbukti ampuh saat SBY berkuasa karena waktu Amerika mendapat guncangan ekonomi, Indonesia tidak berdampak secara signifikan. 

Kredit Usaha Rakyar juga menjadi batu loncatannya. Dengan KUR, rakyat mendapat kemudahan meminjam modal usaha dengan pajak yang kecil sehingga mudah bagi para masyarakat mengembangkan usahanya. 

Bayangkan bagaimana jika para pemuda mau berwirausaha. Lapangan pekerjaan menjadi terbuka dan perekonomian akan merata di berbagai kota, karena Indonesia memiliki junlah anak mida yang cukup tinggi. Jadi mari bangun kotamu mulai dari sekarang dengan segala kelebihan dan inovasi yang kalian semua miliki. 

Membangun itu tidak sulit, mulailah dari sekua yang di bisa dan keahlian yang di miliki semuanya akan berinpprovisasi dengan baik di bantu dengan pengalaman yang akan di dapat saat membuka usaha serta pengalaman orang yangvtelah berwirausaha sebelumnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun