Mohon tunggu...
Diaz Abraham
Diaz Abraham Mohon Tunggu... Jurnalis - Penyesap kopi, pengrajin kata-kata, dan penikmat senja

Peraih Best Feature Citizen Jurnalis 2017 dari PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) | Sisi melankolianya nampak di Tiktok @hncrka | Narahubung: diazabraham29@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Inilah Alasan Sebagian Warga Keturunan Indonesia di Belanda Tidak Kenal Leluhurnya

10 Juni 2016   13:52 Diperbarui: 11 Juni 2016   17:21 10487
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Bicara soal Belanda pasti erat kaitannya dengan Indonesia bagaimana tidak, negeri ini adalah negara terlama yang menjajah Nusantara. Penjajahan tersebut menghasilkan banyak peninggalan Negeri Kincir Angin di Indonesia.

Tercatat, peninggalan-peninggalan megah seperti rumah khas eropa di Jakarta di sekitaran kompleks Kota Tua, Jalan teramai menjelang mudik lebaran yaitu Jalan Pantura, benteng-benteng, dan Undang-undang kita yang mengadopsi peraturan zaman kolonial menjadi penanda kolonialisme Belanda yang di bawa perusahaan dagang VOC ke Indonesia. Kolonialisme Negeri Oranye juga menimbulkan polemik baru yaitu orang-orang keturunan.

Fenomena kelahiran anak-anak berdarah campuran tak lepas dari datangnya penjajah Belanda menduduki wilayah Indonesia. Kedatangan para laki-laki tanpa jumlah perempuan Eropa yang cukup, membuat para laki-laki menggunakan wanita pribumi sebagai penyalur hasrat biologisnya. Naas, praktik ini tidak diatur dalam peraturan ketat sehingga wanita pribumi ditendang bersama anak mereka ketika sang lelaki Eropa tadi telah menemukan perempuan Eropa lain.

Praktik seperti ini disebut pergundikan seperti tulisan saya sebelumnya. Jumlah laki-laki yang menikahi perempuan Indonesia secara resmi bisa dihitung jari karena mereka melakukan hubungan dengan wanita pribumi atas dasar hasrat bukan cinta. Karena kejadian tersebut, banyak anak berdarah campuran di Indonesia tidak mengenal silsilah keluarganya termasuk masyarakat Belanda berdarah campuran Indonesia.

Praktik pergundikan sendiri berakhir seiring berkurangnya cengkeraman negara yang berada di bawah permukaan laut itu di Indonesia. Kekuasaan mereka digantikan oleh Jepang. dalam usahanya menarik simpati rakyat Indonesia, mereka menghapus sebagian besar jejak-jejak Belanda di bumi khatulistiwa.

Bukan hanya bangunan atau patung, para Penjajah dari Negri Sakura juga memisahkan Orang Belanda ke kamp tersendiri. Bagi para istrinya berdarah Indonesia, mereka membiarkannya. Hal ini berkaitan erat dengan selogan mereka yaitu Nipon Pelindung Asia. Para serdadu Jepang mengakrabkan diri mereka dengan warga Indonesia sebagai “saudara jauhnya”.

Lalu bagi anak yang lahir dari perkawinan campuran, diberikan regulasi tersendiri. Mereka akan menerima “asal oesoel” untuk menerangkan jati dirinya sebagai orang asia. Sehingga peran wanita-wanita tadi sangat penting ketika penerapan sistem tersebut.

Bagi laki-laki Eropa yang beruntung, mereka berhasil kembali ke negeri asalnya. Mereka memboyong serta perempuan Asia serta anak berdarah campuran yang dihasilkannya. Ketika sampai di Belanda, para wanita itu tidak mengenal daerah baru dengan kultur dan bahasa berbeda.

Orangtua dari anak hasil “perkawinan silang” jika boleh saya menyebutnya, memiliki jarak umur yang sangat jauh. Menurut catatan perbedaan 10 sampai 20 tahun merupakan hal yang biasa. Sehingga ketika mereka tiba di Belanda, para perempuan tadi banyak yang ditinggal wafat oleh lelakinya akibat usia. Dengan demikian, sejak tahun 1940-an telah banyak nyai di Belanda.

Karena tinggal di negeri berbeda dengan lingkungan yang tidak dikenalnya, para perempuan pribumi tadi tidak bisa bersosialisasi dengan baik. Mereka hanya bisa membagi kisah-kisah masa lalunya di kampung halaman bersama anak-anak campuran.

Zaman lambat laun mulai berubah, anak-anak hasil perkawinan campuran menjadi semakin terlihat. Sebaliknya, perempuan Indonesia semakin terkucilkan di dalam kesunyiannya. Penanda dirinya di Belanda hanya anak dan cucunya saja.

Tetapi banyak dari cucunya yang tidak mengerti bahasa neneknya yang berbeda. Hal ini menjelaskan mengapa sebagian besar orang Belanda Indies dewasa ini tidak memiliki pengetahuan mengenai nenek moyangnya, bahkan mereka hanya mengetahui lewat gambaran-gambaran yang samar.

Maklum saja saat Belanda menduduki Indonesia, bahasa sehari-hari yang digunakan adalah Bahasa Melayu atau Bahasa Portugis. Hanya segelintir orang di luar warga Belanda yang bisa berbahasa Belanda. Belanda pada masa penjajahan menerapkan sistem “kenegaraan” mereka mengelompokan berbagai masyarakat berdasarkan asalnya, bahkan mereka membedakan daerah-daerah tempat tinggal masyarakat berdasarkan asalnya.

Menurut Buku yang berjudul “Nyai & Pergundikan di Hindia Belanda” karangan seorang anak campuran bernama Reggie Baay mengatakan bahwa status perempuan yang biasa di sebut Nyai itu bagi sebagian orang adalah aib, padahal disadari atau tidak darah Asia telah mengikutinya. Dia menuliskan bahwa setiap keluarga Indies atau keluarga Hindia pada masa lalunya memiliki nenek moyang Asia.

Bagi perempuan yang menetap di Indonesia, mereka lebih memilih untuk tinggal di Indonesia baru dengan rezim baru. Mereka memilih jalan tersebut karena telah di tinggal lelaki Eropanya yang meninggal karena usia maupun meninggal karena perang.

Situasi pelik juga kembali menimpa sebagian Nyai yang bertahan di Indonesia ketika masa kemerdekaan. Mereka harus memilih antara suaminya yang telah bersamanya puluhan tahun atau tinggal di negara asalnya. Semua orang tahu bahwa kemerdekaan akan membawa repatriasi, sehingga mereka harus bersiap menerima kenyataan itu.

Pada bagian penutup saya akan mengutip kata-kata dari buku Reggie yang telah menemukan leluhurnya bernama Nyai Moeinah “Sudah saatnya Nyai mendapat tempat yang merupakan haknya di keluarga Indies dan di dalam sejarah, sebelum semua terlambat dan tidak ada seorang pun yang menguingatnya lagi,”.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun