Zaman lambat laun mulai berubah, anak-anak hasil perkawinan campuran menjadi semakin terlihat. Sebaliknya, perempuan Indonesia semakin terkucilkan di dalam kesunyiannya. Penanda dirinya di Belanda hanya anak dan cucunya saja.
Tetapi banyak dari cucunya yang tidak mengerti bahasa neneknya yang berbeda. Hal ini menjelaskan mengapa sebagian besar orang Belanda Indies dewasa ini tidak memiliki pengetahuan mengenai nenek moyangnya, bahkan mereka hanya mengetahui lewat gambaran-gambaran yang samar.
Maklum saja saat Belanda menduduki Indonesia, bahasa sehari-hari yang digunakan adalah Bahasa Melayu atau Bahasa Portugis. Hanya segelintir orang di luar warga Belanda yang bisa berbahasa Belanda. Belanda pada masa penjajahan menerapkan sistem “kenegaraan” mereka mengelompokan berbagai masyarakat berdasarkan asalnya, bahkan mereka membedakan daerah-daerah tempat tinggal masyarakat berdasarkan asalnya.
Menurut Buku yang berjudul “Nyai & Pergundikan di Hindia Belanda” karangan seorang anak campuran bernama Reggie Baay mengatakan bahwa status perempuan yang biasa di sebut Nyai itu bagi sebagian orang adalah aib, padahal disadari atau tidak darah Asia telah mengikutinya. Dia menuliskan bahwa setiap keluarga Indies atau keluarga Hindia pada masa lalunya memiliki nenek moyang Asia.
Bagi perempuan yang menetap di Indonesia, mereka lebih memilih untuk tinggal di Indonesia baru dengan rezim baru. Mereka memilih jalan tersebut karena telah di tinggal lelaki Eropanya yang meninggal karena usia maupun meninggal karena perang.
Situasi pelik juga kembali menimpa sebagian Nyai yang bertahan di Indonesia ketika masa kemerdekaan. Mereka harus memilih antara suaminya yang telah bersamanya puluhan tahun atau tinggal di negara asalnya. Semua orang tahu bahwa kemerdekaan akan membawa repatriasi, sehingga mereka harus bersiap menerima kenyataan itu.
Pada bagian penutup saya akan mengutip kata-kata dari buku Reggie yang telah menemukan leluhurnya bernama Nyai Moeinah “Sudah saatnya Nyai mendapat tempat yang merupakan haknya di keluarga Indies dan di dalam sejarah, sebelum semua terlambat dan tidak ada seorang pun yang menguingatnya lagi,”.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H