Bulan Ramadan menjadi bulan yang paling di tunggu oleh Umat Islam di seluruh Dunia, di bulan ini para pemeluk Agama Islam percaya akan datang rahmat yang luar biasa dari Tuhan. Sehingga mereka berlomba-lomba untuk berbuat kebaikan di bulan tersebut.
Penduduk Indonesia sebagai pemeluk Agama Islam terbesar di dunia memiliki berbagai macam cara untuk menyambut bulan penuh rahmat ini. Ada beberapa keluarga langsung mengecat rumahnya untuk memperindah tampilan menyambut bulan suci serta hari besar Umat Islam setelahnya, yaitu Lebaran Idul Fitri.
Saya teringat ketika berusia 7 tahun, melihat sekumpulan pemuda sedang menggulung sarungnya, bukan menggulungnya di pinggul tetapi di bentuk menjadi semacam pecut atau di lipat ujung sarungnya menjadi gumpalan. Yak, itulah senjata mereka untuk bertempur.
Gerombolan orang tersebut mayoritas laki-laki, mereka berkumpul sesuai domisilinya atau daerah rumahnya untuk bertarung melawan gerombolan kampung lain. Pertarungan kedua kelompok itu di sebut perang sarung, bahasa itu yang biasa di gunakan.
Gerombolan itu terdiri dari berbagai usia, yang paling tua remaja, orang inilah yang menjadi “jendral” dalam pertarungan itu. Sedangkan yang paling kecil adalah anak SD sebagai peramai dalam pertarungan. Anak kecil ini biasanya digunakan sebagai pemancing lawan untuk menyerang.
Beberapa tahun berselang, “tradisi” itu tetap eskis, bahkan waktu pertarungan yang awalnya di lakukan saat Shalat Taraweh bertambah menjadi saat Shalat Subuh . Mereka, para pemuda yang melakukan tradisi tersebut sering meninggalkan Shalat Taraweh, mereka “kabur” dari mushola atau mesjid menuju arena pertarungan saat sujud.
Pertarungan yang meresahkan warga tersebut sering kali membawa kerugian batu-batu yang digunakan melempari musuh sering nyasar ke rumah warga atau mobil maupun motor yang melintas. Tak jarang pemilik rumah keluar dan memarahi para pemuda. Kadang amarah empunya rumah itu tak di gubris dan di anggap angin lalu.
Korban dari kedua belah pihak yang bertikai juga ada mulai dari memar maupun pendarahan di kepala. Pihak kepolisian tak jarang turun tangan untuk meredam pertikaian antara kampung yang bersebelahan tersebut. Tetapi pengawasan kepolisian tidak ketat sehingga peristiwa ini sering terjadi dan terus berulang tahun demi tahun.
Kebiasaan buruk ini menjadi sebuah tradisi bagi anak muda di berbagai daerah. Tetapi tahun ini sepertinya “pertarungan” itu sudah sulit di jumpai. Misalnya saja di tempat penulis tinggal, setiap tahun selalu ada perang sarung tetapi tahun ini pergerakan anak muda tidak ada. Setiap malam setelah Shalat Teraweh tidak ada gerombolan anak muda dan teriakan “satu, dua , tiga” yang sering di teriakan kedua kubu untuk mengambil ancang-ancang penyerangan.
Menurut seorang warga bernama Aldi, pertarungan itu sudah berlang sangat lama dan musuh kampung tempat tinggal penulis tetap sama “dari jaman bapak gua juga udah mulai tuh tempur sarung gak tau dah kenapa pada tempur,” katanya. Aldi menuturkan bahwa ada sensasinya sendiri dalam pertaruingan antar kampung tadi “asik sih itung-itung olah raga, macu adrenalin juga kan apa lagi kalo ada polisi hahaha,” sambungnya.
Tetapi tahun ini di lingkungan tempat tinggal penulis “tradisi” tadi lambat laun menghilang. Sampai saat ini belum ada anak muda yang malakukan perang sarung. Bukan hanya di tempat tinggal penulis, di daerah Bekasi lokasi teman penulis tinggal juga berkurang aktifitas perang sarung ini. “di rumah gue juga Cuma dikit sekarang orangnya yang ikut perang sarung” kata Kiki sambil mengamati layar komputernya.
Adanya fenomena perang sarung ini memberikan pesan kepada para pegiat pendidikan bahwa kegiatan bernama “Agenda Ramadhan” tidak efektif, pasalnya banyak remaja yang hanya mengisi tabel di dalam kertas yang di sediakan sekolah yang berisikan jadwal kegiatan para murid tapi tidak melaksanakan kegiatan positif. Adanya budaya itu menerangkan bahwa ada sesuatu yasng tidak beres di dalam lingkungan bersosialisasi kita.
Perilaku menyimpang merupakan buntut ketidak beresan manusia dalam bersosialisasi sehingga mereka mencari jalan yang salah. Orang tua harusnya fokus untuk anaknya dan menuntun anaknya kearah yang benar. Para pendidik juga harus merubah pola pengawasan di luar sekolah dan mulai melakukan inovasi baru dalam Agenda Ramadhan.
Melihat fenomena sekarang tentang pengurangan aktifitas perang sarung itu, berarti orang tua dan guru telah berhasil membimbing anak-anak mereka? Etsss nanti dulu bos,anggapan itu bisa jadi salah.
Jika melihat dari agenda ramadhan yang penulis liat dari anak yang ada di mushola tempat penulis biasa Shalat Teraweh, agenda ramadhan sama saja, sama-sama membutuhkan tanda tangan imam atau orang tua sebagai bukti bahwa sang anak sudah melakukan kegiatan positif seperti shalat dan membaca Al-Quran selama Ramadan. Orang tua yang shalat di Mushola tempat tinggal penulis juga tidak mengawasi anaknya secara ketat, anaknya di biarkan bercanda di mushola. Pengawasan tadi sama saja dengan pengawasan anak pada tahun-tahun kemarin yang, lalu kenapa para anak tidak melakukan tradisi tadi?
Pergeseran perilaku pemuda di sejumlah wilayah ini karena mereka tidak memiliki aktifitas lain dan menarik perhatian mereka. Coba sekarang kita liat teknologi semakin canggih, para peuma tadi mulai mengarahkan aktifitas mereka kesana. Penggunaan teknologi dengan segala macam kelebihannya telah menghipnotis anak muda zaman sekarang.
Kehadiran teknologi di dukung dengan kesanggupan Orang Tua mereka dalam pengadaan alat tersebut. Sehingga, para anak dengan mudahnya mengakses semua fitur yang ada di dunia maya. Sehingga mereka mulai meninggalkan kebiasaan lama yang kuno tadi dengan kehadiran teknologi. Kini di lingkungan tempat tinggal penulis, ada beberapa anak muda yang “nongkrong” di pinggir jalan dengan sarung, tetapi kali inimereka tidak menggulung sarung ataupun membuat sarung itu menjadi pecutan. Mereka hanya mengalungkan sarung mereka di leher dan menggengam gadget di tangannya.
Semua informasi bisa diakses dengan mudah oleh para pemuda, dari yang positif hingga negatif karena kurangnya pantauan dari Orang Tua. Bahkan fenomena sekarang, para orang tua kalah jauh pengetahuan teknologinya dengan anaknya. Para anak dengan leluasa “mengkadali” Orang Tuanya.
Akan timbul sebuah perilaku negatif baru berkat kemajuan teknologi yang tidak di imbangi dengan kemampuan para pembangun karakter anak untuk membimbing perilaku. Sehingga kita harus siap menerima keadaan atau fenomena baru yang terjadis eperti pemerkosaan.
Pemerkosaan jenis baru pula, yaitu pemerkosaan dengan kekerasan serta pembunuhan yang mengerikan. Mengapa dikatakan mengerikan? Karena para korban di bunuh secara sadis oleh pembunuhnya.
Hal ini telah di amini oleh seorang kompasianer bernama Syaiful W. Harahap. Dalam artikelnya yang berjudul “Pemerkosa di Manado Mengaku Tiru Cara Pemerkosa di Tangerang dari Berita TV” dia menerangkan bahwa pemerkosa Menado melakukan tindakan kejinya karena menonton televisi. Hal ini tak lepas dari vuruknya pengawasan oleh para orang tua.
Terlihat jelas pengawasan menjadi hal utama dalam perkembangan zaman, jangan sampai zaman menggilas semua kebaikan yang ada dalam Ramadan maupun kearifan budaya Indonesia yang berbudi.
Walau guru memiliki tanggung jawab untuk membantu perkembangan anak, tetapi guru bukan kelompok utama yang di salahkan dalam menurunnya moral anak. Orang Tua seharusnya menjadi yang utama dalam membangun karakter anak. Sebagai orang yang sering bertemu dengan anak serta kelompok pertama dalam pengenalan anak kepada lingkungan, orang tua memiliki posisi vital dalam pengembangan karakter anak.
Banyak keluarga yang kedua orang tuanya bekerja sehingga, waktu untuk mengawasi anak menjadi terbatas. Anak mencari sendiri jati dirinya tanpa ada pengawasan jelas dari orang dewasa. Anak yang belum mengenal mana baik dan buruk dengan emosi labil masih mudah di pengarusi hal-hal negatif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H