Mohon tunggu...
Diaz Abraham
Diaz Abraham Mohon Tunggu... Jurnalis - Penyesap kopi, pengrajin kata-kata, dan penikmat senja

Peraih Best Feature Citizen Jurnalis 2017 dari PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) | Sisi melankolianya nampak di Tiktok @hncrka | Narahubung: diazabraham29@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Haruskah Aku Minta Tuhan Buatkan Kamar Mandi

17 Mei 2016   17:16 Diperbarui: 17 Mei 2016   17:21 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kali ini aku masuk dalam kotak besi beralaskan roda yang entah terbuat dari apa. Jika aku perhatikan roda-roda tersebut terbuat dari baja karena mereka terlihat kokoh dan anti karat. Roda-roda itu mulai merangsek masuk Stasiun Tanah Abang.

Tanah Abang merupakan salah satu tempat tersibuk di Jakarta. Bagai mana tidak, daerah ini memiliki pusat grosir terbesar se Asia Tenggara bernama Pusat Grosir Tanah Abang. Sehingga banyak sekali Ibu-ibu yang datang menuju stasiun tersebut untuk membeli baju untuk di jual kembali. Aku juga tak mau kalah dengan Ibu-ibu tersebut, aku juga menuju bangunan stasiun yang nampak usang itu, tapi bukan untuk “memborong” melainkan untuk menunggu kereta ke pemberentian ku.

Aku merasakan ada yang tidak beres dari putaran roda kereta, rasanya tenaganya berangsur berkurang walaupun stasiun masih nampak jauh di pelupuk mata. Benar saja, kereta perlahan-lahan berhenti tanpa alasan yang jelas. Sekitar lima menit berselang pengeras suara berbunyi, ternyata masinis kereta memberikan informasi kepada para penumpang bahwa kereta yang kami naiki saat ini sedang mengalami gangguan dalam sistem persinyalan.

Beberapa penumpang terlihat kecewa atas kejadian ini, dan sebagian besar penumpang lain tidak memperdulikan hal tersebut. Aku berfikir bahwa kejadian ini aneh mengingat betapa tidak sabarannya masyarakat ketika berkendara di jalanan dengan kendaraannya dan mendapati bahwa mereka dihadang kemacetan. Bunyi klakson memekakan telinga dan teriakan dari para pengendara menjadi bumbu manis saat bermacet-macet ria. Ini sangat berbanding terbalik dengan kejadian sekarang.

Tapi setelah di pikir-pikir ke belakang, mungkin saja pembiaran ini terjadi mengingat dahulu pelayanan kereta api Indonesia lebih buruk. Dengan infrastruktur ala kadarnya serta rangkaian kereta yang masih sangat sulut di dapatkan. Aku berfikir lebih nakal lagi bahwa pembiaran ini merupakan bentuk apatisnya masyarakat dengan persoalan negri ini yang sudah menggunung tanpa ada kejeklasan pemecahan masalahnya. Jika ini benar terjadi maka Indonesia diambang kehancuran, karena masyarakat adalah elemen utama dalam pemerintahan yang menganut sistem demokrasi.

Aku yang bosan mulai memperhatikan keadaan di luar jendela, aku mendapati bekas-bekas reruntuhan usai penggusuran. Aku memandanginya lebih tegas dan melihat sebuah beko terparkir di sudut sebidang tanah milik PT. KAI itu. Tetapi tidak semua warga mau pindah dari sekitaran tempat mereka berteduh sebelum rata dengan tanah. Aku melihat banyak bocah yang menarik narik taali dari genggaman tangannya, mereka terlihat riang saat bermain layangan walaupun terbersit tanya tentang tempatnya untuk tidur malam nanti.

Kereta mulai berjalan kembali aku merasa sedikit terhibur dengan kejadian ini tetapi perlahan mulai berhenti lagi. Aku merasa sangat kesal sekarang karena merasa di permainkan oleh kereta. Menyedihkan mungkin tetapi sedihnya tidak sesedih dipermainkan oleh wanita.

Aku yang kesal kembali memperhatikan sekitar berharap untuk menemukan pemandangan yang menarik. Konsentrasiku dalam mengamati sekitar buyar seketika karena ulah bayi yang menangis entah kenapa. Sang ibu dengan sigap mulai mencoba menenangkan sang bayi. Sang Ibu berdiri dan menggendong sang bayi, tetapi bayi itu tetap menangis histeris. Beberapa ibu yang nampak sudah tua memberikan masukan kepada sang ibu muda untuk memberikan ASI untuk sang bayi. Tetapi aku melihat raut muka yang nampak menolak seruan tersebut. Mungkin saja sang ibu malu karena di depannya nampak seorang pemuda yang terus memandanginya dari ujung kaki ke ujung kepala.

Maklum saja unutk seorang perempuan, fisik wanita itu masih sangat menggoda. Ibu itu aku taksir sekitar umur 25 tahunan. Semua lekuk tubuhnya nampak indah di pandang seperti seseorang yang belum pernah melahirkan. Ibu dengan rambut hitam terurainya memiliki paras yang cantik jelita berkulit sawo matang khas wanita Jawa.

Bayi itu terus saja menangis muingkin tangisan ini merupakan tanda bahwa bayi juga tidak suka menunggu lama. Karena sebelum menampakkan wajahnya ke bumi dirinya telah menunggu di tempat yang amat gelap selama sembilan bulan lamanya. Tangisan ini juga menandakan ketidak sukaannya dengan ekspektasinya sebelum mendarat mulus di bumi.

Dia merasa bumi itu adalah tempat terindah dan terbaijk ternyata dia merasa lebih baik kembali ke dalam rahim Ibunya karena dia kini sang bayi sulit untuk mengisi perut laparnya. Dahulu sebelum dia lahir asupan makan selalu dipenuhi untuk pertumbuhannya, tapi kini dia kecewa dengan perlakuan sang ibu. Ditambah lagi kondisi ketika kereta tak juga menampakkan itikat untuk meneruskan perjalanan karena dia ingin pulang kegubuknya untuk kembali melanjutkan mimpi indahnya.

Aku kembali memperhatikan sekeliling dan aku mendapati seorang wanita berjalan kearah gerbong yang aku tumpangi. Rambut hitam terurainya mulai berterbangan ditiup angin di siang itu. Kilaunya matahari terlihat tak mematahkan semangatnya kali ini. Langkahnya terarah namun pasti semakin dekat menuju gerbong ini.

Tetapi di tengah perjalanan itu dia berhenti, dia berjongkok dan meletakkan tempat beklas cat beserta sikat giginya. Wanita berbaju biru itu menoleh kearah kanan dan tangannya menyambar tali yang ada disana. Ditariknya secara cepat tali itu, ternyata tali itu adalah tali untuk mengambil air di sumur. Setelah ku perhatikan lagi ternyata memang benar di tanah itu terdapat sebuah lubang yang sangat berbahaya unutk anak-anak karena tidak ada penutup dari lunbang besar menganga itu. Mulut lubang sama rata dengan tanah dan itu sangat mengecohkan mata, bisa jadi ada korban jiwa yang terjerembab dalam sumur tersebut.

Ember di ujung tali itu mulai muncul di permukaan, wanita dengan kisaran umur 29 tahun itu langsung menyiram sekujur tubuhnya dengan ait yang di dapat. Seluruh tubuhnya seketika basah, rambutnya pun tak lagi melayang mengikuti tiupan angin yang cukup kencang. Ember itu mulai di buang kedalam lubang dan ditarik kembali, sekali lagi dia membasahi sekujur tubuhnya dfengan air.

Guyuran air kedua, membuat bentuk tubuhnya terlihat. Buah dada mulai nampak dibalik baju tipisnya. Aku kemudian memperhatikan situasi di dalam kereta, ternyata mereka juga melihat kejadian yang sama dengan ku. Bahkan ada seorang penumpang yang memotret kejadian tersebut dengan telepon pintarnya.

Mereka samar-samar mengatakan bahwa wanita itu adalah korban dari penggusuran yang belum pindah. Sehingga wanita itu mandi di bekas kamar mandinya itu. Ada pula yang mengomentari bagian tubuh yang muncul dari balutan baju yang dipakainya. Lainnya mengatakan keprihatinan yang terjadi.

Aku kembali mengamati wanita tadi, kali ini dia mulai mencari sesuatu di dalam saku celananya, ternyata dia meraih sebuah sampo. Seketika itu bungkusan shampo di gigit untuk membuka segel. Dia memencet sampo dan mengeluarkannya dari bungkusan berwarna hitam tersebut, sampo itu di lumurinya ke telapk tangannya. Shampo itu lalu di balurkan ke rambut panjangnya. Seketika rambut hitamnya berubah putih tertutup busa shampo.

Dia mengambil sabun yang ada di dalam gayung tadi. Kemudian dia berdiri dan mulai membasuh sekujur tubuhnya tangannya mulai masuk kedalam kaos basahnya kemudian turun kealam celananya sambil tangan lainnya mencoba melonggarkan celanya demi akses tangan dengan sabun menjangkau bagian-bagian tubuhnya.

Tanpa rasa malu dia terus membasuh tubuhnya. Dia kemudian mengambil sikat gigi dan odol untuk menyikat gigi coklatnya. Kemudian dia melempar ember di ujung tali kedalam sumur. Diambilnya air dan langsung menyiramkannya ke tubuhnya. Dia memandang keatas, menikmati guyuran air. Matahari yang terik membuat warna sang air berubah kuning akibat bias matahari.

Dalam kenikmatannya itu mungkin dia sedang bingung demi menemukan kamar mandi layak baginya dan keluarga. Hal ini juga menampar aku yang memiliki kamar mandi layak namun tidak digunakan dengan baik, padahal ada orang yang butuh itu. Ini tamparan keras bagi kita yang sering mengabaikain sekeliling kita yang kekurangan.

Kereta tiba-tiba mengeluarkan bunyi seperti suara rem bus. Putaran roda kembali berjalan meneruskan perjalanan yang terbengkalai. Perjalanan ini juga memisahkan ku dari pemandangan nikmat sekaligus ironi. Putaran roda memberikan tanya, kapan roda berputar bagi orang seperti wanita tadi. Bayi tadi akhirnya berhenti menangis, akibat sang Ibu memberinya ASI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun