Sebagian besar warga Depok, Jakarta atau sekitarnya pasti sering menggunakan kata-kata Bule Depok kepada teman-temannya yang memiliki kemiripan fisik dengan orang-orang dari Eropa, apakah anggapan tersebut benar?
Anggapan tersebut tidak sepenuhnya salah karena pada dasarnya dahulu sebagian besar wilayah Indonesia pernah di duduki oleh penjajah dari Eropa seperti Belanda dan Inggris. Mereka ternyata bukan hanya mengambil kekayaan Indonesia tetapi juga memperlaukan perempuan Indoensia sebagai budak mereka terutama ketika Belanda menduduki wilyah Nusantara.
Karena banyaknya laki-laki dari Negri Kincir Angin datang ke Nusantara, mereka juga membutuhkan wanita untuk memuaskan hasrat biologis mereka. Kebanyakan dari mereka akhirnya “memuaskan” diri kepada para gundik pribumi. Gundik merupakan isteri tidak resmi yang marak terjadi ketika Indonesia dijajah oleh Belanda.
Bukan hanaya gundik, praktik nyai juga marak terjadi. Nyai merupakan pegawai rumah tangga yang mengurusi anak-anak dari para petinggi VOC, tetapi para nyai juga tidur dengan majikan mereka. Pada banyak kasus, Nyai juga kerap menjadi ibu dari anak-anak mereka.
Para Gundik adalah pelayan rumah tangga Eropa. Mereka bukanlah orang Jawa karena pemerintahan Kolonial Belanda takut akan adanya sabotase. Sehingga Pemerintahan saat itu mengambil dari Filipina, India, Sulawesi dan Bali.
Menurut Gubernur Hindia Belanda ke-4 Jan Pieterszoon Coen hubungan antara laki-laki kulit putih dan pribumi adalah sebuah kesalahan. Dia melihat banyak perilaku yang buruk ditimbulkan dari perkawinan tersebut. Tahun 1622 atas permintaan Coen dan persetujuan pemerintahan pusat datanglah wanita-wanita dari Belanda untuk memenuhi kebutuhan laki-laki Eropa. Para wanita tersebut diambil dari panti asuhan yang telah memiliki penilaian baik dari pemerintahan Belanda.
Tetapi peraturan mendatangkan wanita dari Belanda tidak berjalan mulus, karena praktik pergundikan tidak berkurang secara signifikan. Sehingga Coen mengusulkan peraturan baru mengenai larangan pergundikan baik laki-laki maupun perempuan Eropa.
Masalah baru timbul, bukan hanya tidak ada pengurangan pergundikan, ternyata pengeluaran pemerintahan Kolonial semakin membengkak akibat mendatangkan wanita dari Eropa. Pengeluaran tersebut akibat dari tuntutan para wanita yang akan di kirim ke Hindia Belanda dan mas kawin yang diberikan. Ada anggapan bahwa para perempuan ini hanya ingin memperkaya dirinya sendiri.
Gubernur Jendral yang berkuasa tahun 1650 hingga 1653 Carel Reyniersz dan penggantinya Joan Maetsuyker memiliki pandangan yang berbeda dengan pendahulunya Coen. Menurut mereka perempuan Asia lebih memberikan manfaat dibanding wanita Eropa. Kedekatan mereka dengan tanah kelahiran dan sifat mereka tidak terlalu serakah di bandingkan perempuan Eropa membuat beban keuangan VOC berkurang. Walaupun banyak sekali pro dan kontra terhadap perkawinan tersebut nyatanya praktik ini tetap subur hingga abad ke 19.
Sebenarnya ada cara untuk menikahi perempuan Asia. Bagi Laki-laki yang ingin menikah, mereka harus membayar uang untuk membeli budak kepada VOC sebagai pemilik budak dalam wilayah serta sang perempuan harus memeluk agama yang sama yaitu Kristen. Mereka harus di Baptis dan menggunakan nama Kristen sebagai tanda dilahirkan kembali.
Saat itu memang banyak laki-laki Eropa yang datang terloibat dalam pergundikan. Tetapi saat dirinya merasa telah memiliki cukup modal untuk menikahi perempuan Eropa untuk memperbaiki derajat mereka di koloni. Maklum saja saat itu sistem hirarki masih dipegang oleh Pemerintah Kolonial. Setelah itu para gundik dan anak-anak Eurasia atau anak campuran yang lahir di asia di usir begitu saja.
Banyak anak-anak hasil pergundikan terlantar akibat pengusiran ini. Akhirnya pada tahun 1624 pemerintah saat itu membuat panti asuhan untuk menampung anak-anak terlantar tersebut. Tetapi hanya sebagian anak-anak tersebut masuk panti, sebagian lainnya hidup ditengah koloni masyarakat asia. Tetapi seorang anak yang memiliki banyak warisan dari orang tuanya akan diasuh oleh kerabat atau Ibu angkat dan mereka harus mengatur biaya kehidupan dan menjaga warisan tersebut.
Bagi mereka yang berada di panti asuhan, mereka akan di pelihara dan dididik. Tentu saja semuanya tak ada yang gratis, ketika dewasa mereka harus memberikan uang kepada VOC. Para perempuan harus menjadi pekerja rumah tangga atau penjait sedangkan laki-laki menjadi pembuat layar, membetulkan sepatu, pelayar, dan penjahit.
Citra bahwa oang Eropa memiliki gundik amatlah negatif karena banyak yang mengatakan bahwa gundik sering di juluki “perempuan-perempuan hitam” yang berkelakuan seperti “ternak yang bersyahwat”. Para gundik menurut orang Eropa sangat aktif perihal seks. Mereka juga menikmatinya, bahkan ketika melacurkan diri mereka tidak perlu meminta uang tapi malah memberi uang. Selanjutnya mereka malas.
Citra anak-anak yang lahir dari pergundikan juga tidak positif. Percampuran ras mengumpulkan sifat-sifat terburuk dari kedua ras sehingga menhasilkan ras yang lemas. Sikap Pribumi mereka lebih dominan dari pada Eropa. Anak-anak gundik gemar mengejar kesenangan dan menghabiskan uang. Para perempuan Eurasia tersebut juga malas mendidik anak-anak mereka. Mereka malah menikahkan anak-anaknya dengan pribumi. Laki-laki Eurasia juga diamggap bodoh, rendah diri, dan tidak dapat dipercaya.
Kebanyakan laki-laki ini tidak memiliki posisi tinggi di pemerintahan mereka yang beruntung hanya di tempatkan di pinggiran. Berbeda dengan anak Eurasia yang memiliki uang, mereka di sekolahkan di Belandan dan kembali ke Hindia Belanda menjadi pekerja.
Mungkin itulah awal mula adanya “Bule Depok” yang sering disebutkan oleh masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H