Mohon tunggu...
Diaz Abraham
Diaz Abraham Mohon Tunggu... Jurnalis - Penyesap kopi, pengrajin kata-kata, dan penikmat senja

Peraih Best Feature Citizen Jurnalis 2017 dari PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) | Sisi melankolianya nampak di Tiktok @hncrka | Narahubung: diazabraham29@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

"Bule Depok" dari Mana Asalnya?

10 Mei 2016   16:07 Diperbarui: 10 Mei 2016   20:51 2084
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Banyak anak-anak hasil pergundikan terlantar akibat pengusiran ini. Akhirnya pada tahun  1624 pemerintah saat itu membuat panti asuhan untuk menampung anak-anak terlantar tersebut. Tetapi hanya sebagian anak-anak tersebut masuk panti, sebagian lainnya hidup ditengah koloni masyarakat asia. Tetapi seorang anak yang memiliki banyak warisan dari orang tuanya akan diasuh oleh kerabat atau Ibu angkat dan mereka harus mengatur biaya kehidupan dan menjaga warisan tersebut.

Bagi mereka yang berada di panti asuhan, mereka akan di pelihara dan dididik. Tentu saja semuanya tak ada yang gratis, ketika dewasa mereka harus memberikan uang kepada VOC. Para perempuan harus menjadi pekerja rumah tangga atau penjait sedangkan laki-laki menjadi pembuat layar, membetulkan sepatu, pelayar, dan penjahit.

Citra bahwa oang Eropa memiliki gundik amatlah negatif karena banyak yang mengatakan bahwa gundik sering di juluki “perempuan-perempuan hitam” yang berkelakuan seperti “ternak yang bersyahwat”. Para gundik menurut orang Eropa sangat aktif perihal seks. Mereka juga menikmatinya, bahkan ketika melacurkan diri mereka tidak perlu meminta uang tapi malah memberi uang. Selanjutnya mereka malas.

Citra anak-anak yang lahir dari pergundikan juga tidak positif. Percampuran ras mengumpulkan sifat-sifat terburuk dari kedua ras sehingga menhasilkan ras yang lemas. Sikap Pribumi mereka lebih dominan dari pada Eropa. Anak-anak gundik gemar mengejar kesenangan dan menghabiskan uang. Para perempuan Eurasia tersebut juga malas mendidik anak-anak mereka. Mereka malah menikahkan anak-anaknya dengan pribumi. Laki-laki Eurasia juga diamggap bodoh, rendah diri, dan tidak dapat dipercaya.

Kebanyakan laki-laki ini tidak memiliki posisi tinggi di pemerintahan mereka yang beruntung hanya di tempatkan di pinggiran. Berbeda dengan anak Eurasia yang memiliki uang, mereka di sekolahkan di Belandan dan kembali ke Hindia Belanda menjadi pekerja.

Mungkin itulah awal mula adanya “Bule Depok” yang sering disebutkan oleh masyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun