Mohon tunggu...
Dias Ashari
Dias Ashari Mohon Tunggu... Penulis - Wanita yang bermimpi GILA, itu akuuu..

Mantan Mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menuai Cerita Lewat Langkah Kaki

13 Oktober 2020   10:33 Diperbarui: 13 Oktober 2020   17:54 649
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pagi ini aku memiliki janji dengan seorang teman. Dimana ia akan meminjamkan kekasih yang amat dicintainya kepadaku. Entah apa yang membuatnya percaya padaku. Bagaimana jika kekasih yang amat dicintainya itu berpaling padaku. Apa mungkin ia akan menjadi miliku. Entah kita tunggu saja kelanjutan ceritanya.

Aku sudah tak sabar ingin bertemu dengan kekasihnya. Akan kuciumi aroma tubuhnya. Ku obrak-abrik isi dalam dirinya. Hingga dahaga keingintaunku akan terpuaskan.

Dia kekasih yang amat dicintainya bukanlah manusia tapi seorang buku. Entah kegilaan apa yang dimilikinya hingga ia lebih memilih buku dibandingkan wanita manis yang ada di hadapannya. Sudahlah mana mungkin aku bisa mengalahkan daya tarik ilmu dari kekasih yang begitu memikatnya.

Pagi ini aku memutuskan untuk berjalan kaki menuju kampus. Sudah lama rasanya aku tak menggerakan anggota tubuhku dan tak mencium aroma segarnya udara kota ini. Kota yang tak hanya sekedar tempat kelahiranku tapi ia selalu menjadi teman setia dalam perjalanan hidupku.

Selamat pagi Bandung!

Cerita ini ku awali dengan berjalan kaki sepanjang area jalan Jendral Sudirman. Kulihat ada gadis bertubuh mungil dengan celana jeans dan kemeja kotak-kotak dengan warna biru dan hitam yang saling melengkapi. Kupikir dia pun sama sepertiku sedang berjalan kaki untuk menikmati indahnya kota ini.

Di sebuah trotoar luas, kulihat ada seorang bapa paruh baya dengan becaknya yang terlihat usang. Menatap lurus ke arah jalan dengan tatapan kosong. Jika boleh ku tebak mungkin beliau sedang memikirkan adakah penumpang untuknya hari ini?

Rasanya baru 30 menit berjalan nampaknya kakiku sudah mengeluh. Namun sebelum mengeluh lebih lanjut aku melihat ada bapak penjual asongan dengan membawa beban yang cukup berat di sekitar bahunya. Belum lagi tangan kanan yang membawa termos air dan tangan kirinya memegang kresek berwarna hitam yang mungkin bagian dari dagangannya juga.

Kulihat usianya belum terlalu tua mungkin sekitar 40 tahunan. Namun kakinya agak diseret ketika berjalan dan bahunya sedikit menurun akibat membawa beban berat. Tak terbayang berapa kilo meter beliau berjalan setiap hari untuk menjajakan jualannya. Bukankah dari beliau kita harus belajar bersyukur atas apa yang kita miliki? Betul? Tidak?

Kualunkan kembali langkah kaki ini dan mataku terfokus pada sebuah perusahaan mobil yang berada disebrang kiri jalan. Disana ada balon berbentuk manusia yang tangannya memberi kode untuk setiap pejalan agar berhenti sejenak di perusahaan tersebut. Balon itu jatuh mendadak entah kenapa, segeralah karyawannya membetulkan posisinya. Namun ketika diangkat bagian tangan dari balon itu seolah memukul bagian wajah karyawan itu. Aku tertawa di balik masker, karyawan dan temannya juga tertawa dengan senyum lebar tanpa masker.

Hem hidup kadang memang selucu itu maka jika masih punya kesempatan, tertawalah. Sebelum tertawa itu dilarang. Ada kalanya hidup dipenuhi dengan komedi maka jangan biarkan dirimu berada dalam keseriuan terus-menerus, Betul? Tidak?

Langkah kakiku terhenti sejenak karena rambu-rambu lalu lintas melihatkan warna hijaunya. Aku kembali melihat sekelilingku, ada seorang bapa dan anaknya yang menggunakan baju pangsi serta menggendong belasan botol dalam sebuah wadah. Aku penasaran, semakin dekat kulihat itu seperti madu. Yang membuatku sedih keduanya tak menggunakan alas kaki. Nampak kakinya sudah hitam dengan debu jalan.

Hidup kadang begitu menyakitkan, namun jika dijalani dengan sepenuh hati nampaknya tak ada beban yang berarti. Sama dengan bapak dan anak itu yang sedang berjuang memperbaiki nasibnya, Betul? Tidak?

Ku buka ponselku untuk mengintip jam takutnya terlambat menuju kampus. Ternyata masih ada waktu 1 jam lagi menuju kampus. Kulihat di jalan raya menuju Alun-alun Bandung seorang ibu dengan pakaian bagusnya sedang menggoes sepedah. Wajah nampak sumringah dengan tambahan make-up cetarnya. Begitu tenang sambil mendengarkan earphone besar yang ada ditelinganya.

Hidup kadang terasa indah bagi seseorang, maka jika kamu berada didalam posisi yang sama banyaklah bersyukur, Betul? Tidak?

Tak hentinya mata ini terus mengobservasi sekitar. Ada sebuah sepedah yang ditempeli plat nomer dengan nomor D 2276 MD. Tampak berbeda dari kebanyakan sepedah namun tetap saja tidak cocok.

Bukankah hidup kadang begitu? Seseorang menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya. Adil bukan berarti harus sama rata tapi harus memberikan sesuatu sesuai porsi dan tempatnya. Betul? Tidak?

Ku sudahi dulu ceritanya. Kini aku sudah sampai kampus tepat pukul 09:11. Aku sudah takut telat tapi nyatanya temanku belum datang. Biasanya aku amat benci dengan seseorang yang tepat waktu dalam janjinya. Namun aku tetap menunggu dia demi kekasih yang amat dicintainya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun