Kepergian terindah adalah dalam pelukan keluarga dan sahabat. Dan Philipus Joko Pinurbo (11 Mei 1957-27 April 2024) diberkati dengan situasi istimewa itu.
**
Semalam (27/4) kami menghadiri ibadat "memule" keluarga di Wonolobo. Sebuah dusun di Kelurahan Mangunsari, Kecamatan Sawangan. Seorang ibu yang berpulang menyusul suaminya pada hari ke-47. Sehari setelah berpulangnya Jokpin.
Memule adalah kebersamaan yang diintensikan secara khusus untuk ketenteraman jiwa seorang yang sudah berpulang. Bentuknya bisa beraneka: kenduri, ibadat, doa bersama atau bisa jadi misa. Untuk situasi khusus, misa dapat dihunjukkan oleh lebih dari satu imam. Kami berdoa bersama umat setempat dan kerabat keluarga yang berduka.
"Kasih itu tidak memiliki, ia adalah pemberian diri. Berbeda dengan cinta yang mengandung maksud untuk memiliki," kata prodiakon yang memberi renungan singkat.
"Dibisikannya sebuah doa: Diberkatilah engkau yang menyelamatkan nyawa dengan nyawa." (Pieta, Joko Pinurbo, 2021).
**
Saya selalu tidak mudah menerima berita duka. Terutama kerabat dan sahabat. Entah mengapa. Ikut mendoakan ataupun menghadiri pemakaman selalu menghadirkan suasana "tintrim".Â
Suasana misterius yang tidak berujung. Banyak teman yang saya kenal bisa begitu saja menuliskan pengalaman itu, tetapi tidak bagi saya. Saya selalu membutuhkan ruang lebih panjang sebelum kemudikan dapat menuliskannya secara sederhana.
Kematian, bagaimanapun, tetap menjadi sebuah misteri abadi. Yang tidak terpecahkan hingga saat ini. Hidup manusia (di dunia) diakhiri dengan kematian. Suka atau tidak suka. Menghendaki atau tidak menghendaki. Kematian hadir sebagai tabir pembatas yang jelas: di mana kehidupan, di mana kematian.
Saya juga mengintensikan dalam doa semalam untuk ketenteraman jiwa Pak Jokpin yang berpulang kemarin dan dimakamkan pada hari ini (28/4).
Ikut mendoakan yang sudah berpulang sepertinya adalah ungkapan untuk mencintai orang lain. Tetapi, pada saat yang sama, ia adalah ungkapan cinta untuk diri sendiri. Berbelarasa di satu sisi, dan mencintai diri sendiri di sisi lain. Bahwa sejauh masih bernama manusia, maka kematian akan menghampiri. Memento mori, ingatlah bahwa kamu juga akan mati.
**
Meneroka puisi Jokpin kita diajak melintasi batas-batas pemahaman umum, lalu masuk kepada kedalaman. Kedalaman yang (justru) sangat sehari-hari. Yang oleh banyak orang dapat terlewatkan begitu saja. Kopi, sarung, baju, sepatu, rokok, gerimis, dingin, telepun seluar dan seterusnya.
Ketika tiga hari kemudian Yesus bangkit
dari mati, pagi-pagi sekali Maria datang
ke kubur anaknya itu, membawakan celana
yang dijahitnya sendiri dan meminta
Yesus untuk mencobanya.
"Paskah?" tanya Maria.
"Pas sekali, Bu," jawab Yesus gembira.
Mengenakan celana buatan ibunya,
Yesus naik ke surga.
Nukilan dari puisi "Paskah" tersebut adalah salah satunya. Tatanilai yang bagi sebagian orang ditengarai sebagai penuh dengan hal-hal ritual-prosedural, dalam pendekatan Jokpin menjadi sangat manusiawi.Â
Sangat sederhana. Bahwa tema berat Paskah, di tangan seorang Jokpin terasa begitu sangat manusiawi. Kedekatan Bunda Maria dan Gusti Yesus yang bahkan bagi banyak orang tidak terpikir untuk "memanusiawikannya", seorang Jokpin membuatnya menjadi demikian manusiawi.
Bahwa kemudian, setelahnya, hal-hal manusiawi-lah yang memang harus dilakukan dalam hidup keseharian bersama orang lain. Bukan hal yang terlalu tinggi dan terlalu muluk. Dan lalu tidak terlakukan kemudian.
**
Pak Jokpin menjawab ringkas ketika saya (yang bukan siapa-siapa) meminta beliau untuk memberikan endorsement pada buku saya. Beliau membaca cermat, sebelum kemudikan berkenan memberikannya. Tidak rumit. Tidak ribet. Bahkan seperti saya hanya meminta pada seorang teman.
Padahal, siapakah saya ini?
Beliau adalah nama besar yang tidak sekalipun tampak terbebani dengan nama besarnya. Alih-alih  terbebani, beliau malah meletakkan nama besarnya dan berjalan pada proses kreatif puitiknya yang luar biasa dengan begitu ugahari.
Selain "Pisau Berkarat di Samping Cobek Retak", "Sebuah Tanjakan dengan Dua Kelokan (1)", "Sebuah Tanjakan dengan Dua Kelokan (2)", dan "Sepasang Kursi Rotan di Teras Kecil", "Dua Burung Kecil di Tandan Pisang" merupakan sajak indah yang menunjukkan dan mewakili kesederhanaan yang menyentuh dari sajak-sajak Adrian. Â (Joko Pinurbo, penyair)
**
"Apa agamamu? Agamaku adalah air yang membersihkan pertanyaanmu."
Lihatlah, pada permenungan hebat yang ditulis dengan begitu sangat sederhana ini. Salah satu puisi amat mendalam yang ditulis Joko Pinurbo. Mendalam karena frasanya yang membebaskan. Tidak ada hal indah selain pengalaman yang membebaskan.
Ada begitu banyak hal yang membelenggu diri. Masa lalu, masa sekarang, masa mendatang, Impian, preferensi, cita-cita, idealisasi dan seterusnya. Hal-hal yang ketika tersampaikan kepada orang lain dapat menjadi buluh yang tajam menusuk. Melukai.
Tetapi Joko Pinurbo malah mengajak membebaskan diri dari banyak keterikatan, sehingga hanya kasih-lah yang dibagikan kepada orang lain.
Puisinya yang begitu ugahari menyentuh banyak hati. Kepulangannya mengumpulkan banyak sahabat dan kerabat. Tidak ada kematian yang lebih indah dari itu.
**
Bagi saya, Joko Pinurbo adalah ranting pohon anggur yang berbuah lebat. Maka ia tidak dipangkas, tetapi dibiarkannya terus berbuah sepanjang musim. Sepanjang tahun.Â
Seperti pohon yang tumbuh di tepi aliran air. Karena seperti bacaan hari ini, Joko Pinurbo adalah ranting yang menyatukan diri kepada pokok anggur. Hanya pilihan itu yang menjadikannya berbuah lebat.
Tengoklah ucapan duka dari sahabat Umi Kalsum ini: "Innalillahi wa innaillaihi rojiun. Telah berpulang Penyair kita Mas Joko Pinurbo tadi pagi.Â
Saat ini jenazah masih di RS dan akan disemayamkan di PUKY siang nanti. Almarhum akan dimakamkan besok Minggu di  Sleman. Semoga engkau damai di sisiNya, Mas."
Tidak hanya media sosial yang mengabarkan duka cita itu, media massa arus utama juga mewarta kabar duka itu sebagai headline. Tidak terhitung dalam komunikasi aplikasi. Semua kehilangan seorang Joko Pinurbo yang telah mengisi dan mendamaikan banyak hati dan juga jiwa.
Joko Pinurbo adalah ranting pohon anggur.
I Posong I 28 April 2024 I 22.20 I
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H