Saya juga mengintensikan dalam doa semalam untuk ketenteraman jiwa Pak Jokpin yang berpulang kemarin dan dimakamkan pada hari ini (28/4).
Ikut mendoakan yang sudah berpulang sepertinya adalah ungkapan untuk mencintai orang lain. Tetapi, pada saat yang sama, ia adalah ungkapan cinta untuk diri sendiri. Berbelarasa di satu sisi, dan mencintai diri sendiri di sisi lain. Bahwa sejauh masih bernama manusia, maka kematian akan menghampiri. Memento mori, ingatlah bahwa kamu juga akan mati.
**
Meneroka puisi Jokpin kita diajak melintasi batas-batas pemahaman umum, lalu masuk kepada kedalaman. Kedalaman yang (justru) sangat sehari-hari. Yang oleh banyak orang dapat terlewatkan begitu saja. Kopi, sarung, baju, sepatu, rokok, gerimis, dingin, telepun seluar dan seterusnya.
Ketika tiga hari kemudian Yesus bangkit
dari mati, pagi-pagi sekali Maria datang
ke kubur anaknya itu, membawakan celana
yang dijahitnya sendiri dan meminta
Yesus untuk mencobanya.
"Paskah?" tanya Maria.
"Pas sekali, Bu," jawab Yesus gembira.
Mengenakan celana buatan ibunya,
Yesus naik ke surga.
Nukilan dari puisi "Paskah" tersebut adalah salah satunya. Tatanilai yang bagi sebagian orang ditengarai sebagai penuh dengan hal-hal ritual-prosedural, dalam pendekatan Jokpin menjadi sangat manusiawi.Â
Sangat sederhana. Bahwa tema berat Paskah, di tangan seorang Jokpin terasa begitu sangat manusiawi. Kedekatan Bunda Maria dan Gusti Yesus yang bahkan bagi banyak orang tidak terpikir untuk "memanusiawikannya", seorang Jokpin membuatnya menjadi demikian manusiawi.
Bahwa kemudian, setelahnya, hal-hal manusiawi-lah yang memang harus dilakukan dalam hidup keseharian bersama orang lain. Bukan hal yang terlalu tinggi dan terlalu muluk. Dan lalu tidak terlakukan kemudian.