Mohon tunggu...
Adrian Diarto
Adrian Diarto Mohon Tunggu... Petani - orang kebanyakan

orang biasa. sangat bahagia menjadi bagian dari lansekap merbabu-merapi, dan tinggal di sebuah perdikan yang subur.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Artikel Utama

Puisi | Udara di Doa-doa Ibu

23 April 2020   07:49 Diperbarui: 26 April 2020   19:52 334
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kalau saja nanti malam engkau masih di rumahmu, Ibu
Akan kumasuki rumah sebelum adzan sholat subuh

Kubuat teh manis untuk penghangat perutmu yang dulu mengandungku

Pastilah akan banyak tanya dariku:
Seberapa tehnya
Di mana gulanya
Sesendok besar atau kecil
Apakah airnya harus mendidih
Sepenuh gelas atau tiga perempat saja
Perlukah pakai tapak
Atau, yang manakah gelasmu

Segelas teh akan terhidang beserta serentetan tanya, dengan camilan yang tertinggal di almari makan di dekat pintu dapur

Ke mana tanya-tanyamu kau simpan, Ibu?

Tentang ukuran lingkar pinggangku
Tentang besar sepatuku tiga bulan lagi
Tentang makanan yang membuatku rakus mengunyah
Tentang warna kesukaanku
Tentang berapa lama aku tidur
Tentang apa yang membuatku gelisah
Tentang apa yang membuatku bergairah
Tentang sayur kesukaanku
Juga tentang perempuan yang membuatku jatuh cinta

Seberapa besar ruang hatimu, Ibu?
Apakah seukuran almari 5X6 meter?

Di mana semua ingatan tentangku kau simpan serapi menata pakaian-pakaian sehabis diseterika
Tanpa satupun yang tertinggal-cecer di lantai ruang makan

Tentangmu, aku hanya menyimpan sedikit ingatan:
Tentang langkah sepulang dari pasar
Tentang tatapan yang memeluk-sambut tanpa protes akan bau keringat yang mengering di baju sehabis bermain bola
Sudah hanya tentang itu

Ranjangmu sudah kosong sekarang
Hanya debu-debu waktu yang berbaring menggantikanmu
Hanya udara pengap karena tangan lentikmu tidak lagi membuka jendela-jendela berjerejak kayu nangka

Kalau saja Ibu masih berbaring di ranjang itu, akan kuhidangkan segelas teh yang diaduk beserta banyak pertanyaan

Oh, ya. Aku juga akan bercerita bahwa aku bertemu perempuan yang kakinya menjuntai dan senyumnya dibingkai oleh rahang lembut yang indah
Tubuhnya setinggi tubuhmu
Badannya seramping milikmu
Dan langkahnya seringan kakimu sepulang dari pasar

Rasanya aku melihat cinta dua kali: padamu dan pada perempuan itu

Puasa segera tiba, tetapi ranjangmu sudah kosong dan sarang laba-laba menggantung di atas tungku yang bertahun tanpa nyala api

Prambanan | 23 April 2020 | 7.25 |

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun