Kami mengenal tradisi 'Nyadran", yaitu mereka yang kerabatnya dimakamkan di pekuburan dusun secara khusus berkumpul. Untuk mendoakan mereka yang sudah terlebih dahulu meninggal itu.
Untuk apa yang sudah meninggal didoakan?
Aiko Gibo, seorang cenayang dari Jepang, mendeskripsikan bahwa doa adalah siraman yang menyejukkan bagi jiwa-jiwa mereka yang mengembara di dunia "sana".
Secara fisik, makam mereka di pekuburan, yang notabene adalah "rumah" mereka. Bila tidak diurus oleh kerabat yang masih hidup, tentu menjadi sebuah kesedihan bagi mereka.
Maka Nyadran adalah rangkaian proses dari pembersihan makam, sebagai bagian dari "perti dusun" atau merawat dusun, sampai puncak acara Nyadran nanti.
Secara egaliter dan penuh kebersamaan, acara dipuncaki dengan "tahlilan". Membacakan doa salah satu surah dalam kitab suci.
Suara lantunan surah yang didaraskan dalam hening hati dan khusuk sudah lebih dari cukup untuk mendirikan bulu roma. Mereka "mengirimkan" doa dan penghiburan dan keselamatan bagi jiwa-jiwa.
Bagi yang tidak beragama Islam, apakah berperan serta dalam tradisi Nyadran itu?
Ya, saya pribadi menempatkan diri sebagai bagian dari Nyadran. Bahkan rumah kami dari tahun ke tahun ditempati untuk tradisi tua itu. Hal repot yang menyenangkan.
(Almarhum) Simbah Kakung dan Bapak sudah tahu betul apa yang perlu disiapkan. Mulai dari menyiapkan kayu bakar untuk "olah-olah" di dapur, membersihkan pekarangan sampai dengan menatasiapkan rumah supaya betul-betul memfasilitasi dengan segala keterbatasannya. Dari teras, ruang tamu, ruang keluarga, longkangan, sampai dapur tadi.
Bapak bahkan mencatat semuanya dengan rapi pada sebuah buku tulis bersampul biru lusuh hasil cetakan Pabrik Kertas "Blabag". Tulisan berjenis latin bersambung miring ke kanan rapi-jali, hasil didikan Sekolah Pangudi Luhur Muntilan.
Adapun pabrik buku tulis itu sudah tutup karena tersandung manajemen pengelolaan yang menjalin-temali sedemikian.
Berapa gula pasir dan teh, berapa beras, berapa sayur-mayur, berapa tepung beras ketan untuk penganan dan lainnya didata dengan detil dan teliti.
Pada hari H, rumah-rumah tetangga semua terkancing rapat. Tetapi rumah kami tidak ada pintunya yang tertutup dan lebih benderang. Semua berkumpul, semua adalah panitia. Membagi diri sebagai Maria atau sebagai Martha.
Tidak ada syak, tidak ada prasangka. Tuhan pastilah Mahacerdas yang memahami bahasa-bahasa manusia. Kalau doa dilangitkan dalam bahasa Arab pun pastilah bukan sebuah masalah.
Mungkin perspektif dan pengalaman sederhana ini yang mengendap di bawah sadar, sehingga ketika pada sebuah waktu mampir ke makam Maulana Malik Ibrahim di Gresik malah agak terlelap karena alunan doa yang mengalun indah seperti gelombang samudera.
Beberapa hari lalu diumumkan perayaan Nyadran tahun ini ditiadakan karena pandemi Covid-19. Kumpulan orang dalam jumlah banyak dikhawatirkan memicu paparan lebih jauh.
"Wah, ra ana Nyadran," kata beberapa tetangga. Ada rasa "gelo" bahwa Nyadran ditiadakan. Seingatan baru pada tahun ini Nyadran ditiadakan.
Tetapi rasanya bukan Nyadran yang tidak ada, tetapi konsentrasi massa yang dihindari. Harapan dan doa untuk para leluhur pastilah tetap melambung tinggi. Seperti bukan esensi Paskah yang ditiadakan, tetapi perayaannya yang ditiadakan.
Pandemi Covid-19 juga membawa makna pada sisi yang lain. Semua seperti dibantu untuk kembali masuk ke ruang-ruang hening dan sepi. Melepaskan diri dari seremoni dan kebiasaan bergerak dan riuh hanya di permukaan dan kulit ari.
Mungkin juga sambil memberi dukungan baik langsung maupun tidak langsung kepada mereka yang terpapar dan paramedis yang berjuang keras mengatasi situasi darurat dan tidak ideal di sana-sini.
| Kalasan | 24 Maret 2020 | 18.31 |
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H