Mohon tunggu...
Adrian Diarto
Adrian Diarto Mohon Tunggu... Petani - orang kebanyakan

orang biasa. sangat bahagia menjadi bagian dari lansekap merbabu-merapi, dan tinggal di sebuah perdikan yang subur.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Puisi | Tentang Laut

19 Februari 2020   08:02 Diperbarui: 19 Februari 2020   08:00 882
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Apakah kamu mengerti tentang laut?" tanyamu sambil berlalu melewati lalu-lintas yang terus bertambah padat

Dulu aku berpikir tentang hujan yang berlarian ke laut
Melewati lekukan-lekukan kecil
Lalu berkumpul di ceruk-ceruk yang lebih besar
Sebelum kemudian berlari melalui palung-palung sungai mencapai laut

Seiring banyak perjalananmu ke selatan, ke dekat laut, aku sesekali berjalan ke tepian luas laut

Melihat gemuruh yang berlari ke pantai
Dan hanya menjumpai sunyi yang dalam setelah pantai memecahkan setiap debur ombak

Tidak ada yang lebih sunyi dari gemuruh yang dipecahsebarkan oleh pantai

Meninggalkan percikan-percikan kecil
Lalu sepi merentang-panjang pada garis pantai
Sepi yang teramat dalam

Setelah ombak kembali ke tengah laut
Lalu pantai kembali menjalani takdirnya

Ombak dan pantai sekali waktu bersisian
Dekat, seperti embun di kelopak mawar
Lalu matahari membawa embun pergi, secepat ombak meninggalkan pasir-pasir pantai
Lalu sepi bergegas hadir

"Laut adalah gemuruh yang begitu sepi," kataku
Ia juga merupa ruang luas yang hanya mampu diisi oleh sepi

Seberapapun riuh kita membuatnya

Seriuh celoteh di ruang dapur, di sisi-sisi tungku
Ketika air dijerang untuk menyambut Natal, lalu diletakkan gula-gula batu di dasar cangkir-cangkir panci

Tetapi nyatanya sepilah yang memiliki dapur
Ketika api tidak menyala dan asap tidak membumbung
Ketika celoteh tidak ada, dan hanya sepi yang  mengisipenuhi seruang dapur

"Kapan kamu bertemu laut?" tanyamu di dekat lampu yang menyala merah

Senyatanya aku memang lebih sering bertemu sepi
Seperti dapur tanpa nyala api dan asap yang membumbung

Seriuh apapun aku mengisipenuhi ruang

Dengan kalimat-kalimat tanpa titik di atas kertas
Atau dengan warna-warna di langit, yang dengan susah payah kutangkapgambarkan

Aku memang pernah bertemu laut, pada sisinya yang paling tepi
Pada bagiannya yang paling riuh

Mungkin sesungguhnya aku belum pernah bertemu laut
Aku hanya bertemu pantai yang riuh sekali waktu
Lalu sunyi mengisi

"Aku belum pernah bertemu laut," jawabku. Akhirnya

Aku hanya bertemu air laut dan pasir pantai
Yang sekali waktu begitu dekat
Tetapi tidak pernah bersama

"Bukankah takdir seringkali selucu itu. Hanya sesaat membawahadirkan kedekatan, lalu selebihnya sunyi yang semakin dalam," sambungku

Tetapi aku akan berjalan lagi ke sisi laut
Sedekat ombak dan pasir laut bersapa
Sebelum lalu masing-masing berlalu menggandeng takdirnya

Laut adalah hanya sunyi yang dalam

| Kalasan | 19 Februari 2020 | 07.16 |

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun