"Itu pak, sebelah kanan," katanya terdengar antusias, sambil kaki terus mengayuh.
Setelah check-in di penginapan, alarm kuaktifkan dua kali. Pada pukul 05.45 dan pukul 06.00. Untuk memastikan pagi tidak berlalu begitu saja, bahkan oleh serangan kantuk setelah perjalanan selama 8,5 jam dari Kota Yogyakarta. Rasanya tidak sabar menanti pagi, dan mengunjungi gadis molek di balik pagar pembatas.
Munari kujumpai di simpang Jalan Diponegoro paginya, di dekat sekolah berasrama. Munari adalah pengayuh becak yang lain. Berusia sekitar 60 tahun dan masih nampak sehat. Ia mencari penumpang mulai dari pukul 06 sampai siang pukul 12-an. Munari kuminta membantu mengantar ke Gereja Merah.
Setelah Munari memarkir becak, lalu kudekati gerbang Gereja Merah. Meminta ijin untuk mengambil foto pada penjaga yang terlihat sedang menanam bunga di tanah dekat pagar.
"Bapak dari mana?" tanya penjaga gereja yang belakangan kuketahui bernama Marhaen Tololio setelah berkenalan.
Waktu belum menunjukkan pukul 07.00 pagi. Kesempatan yang bagus untuk mengambil foto. Nanti, pada siangnya, Gereja Merah akan sudah kukunjungi lagi.
Nunik, petugas sekretariat Gereja menyambut ramah. Setelah mengisi buku tamu lalu kumohon ijin untuk boleh memasuki ruang gereja.
"Baik, pak. Sebentar dibantu kuncinya. Bapak nanti boleh masuk melalui pintu ruang pastori," kata Nunik.
Ruang pastori adalah ruang khusus untuk pendeta dan petugas lain bersiap sebelum ibadah. Tidak lama Marhaen datang sambil menunjukkan sebuah kunci besar. Kunci pintu ruang pastori. Kalau dihitung kunci itu sudah berusia 157 tahun.