Sir Didi Kempot telah "mewolak-walik" suasana dan standarisasi tentang patah hati. Dan itu sudah banyak ditulis di sana-sini. Dari bahasan yang "ngilmiyah" sampai yang asal "othak-athik gathuk", dari yang berpendekatan standar-formal sampai yang "ruwet-jelimet-mekeket". Dari yang memberisebarkan pencerahan, sampai yang hanya penulisnya sendiri yang "mudeng".
Tapi dari banyak narasi, ada satu kesepakatan: dalam deskripsi Sir Didi, skema patah hati bisa dirumuskan di depan. Sebelum fakta datang menusuk, melukai dan meninggalkan dalam sepi seorang diri.
Tinggal pilih lagunya, dan nikmati suasananya. Mulai dari kembang tebu sampai gunung berapi purba. Dan banyak lagi.
Secara personal, Sir Didi jagoan mencermati dan mengangkat tema yang sangat sehari-hari. Lalu dipersonifikasikan dalam hal-hal yang juga sangat di sekitar hidup sehari-hari.
Kalau hanya mencaritemukan narasi yang "ndakik-ndakik" itu mudah ditemui, semudah menemukan uang receh. Tetapi memaknai yang sangat sehari-hari lalu menjadi seberharga berlian hanya dilakukan oleh sangat sedikit orang. Dalam tataran yang memang dibentuk secara khusus ada Dick Hartoko di masa lalu. Di masa kini ada Gabriel Possenti Sindhunata.
Tetapi Sir Didi memang berbeda. Deskripsi yang ugahari lalu digabungselaraskan dengan nada-nada yang sangat "daily": ringan, "easy listening" dan, itu tadi, menyayat hati. Perih. Mungkin seperti luka yang "dikeceri" jeruk nipis. Tak terkatakan dan tak terceritakan. Dan dialami oleh banyak orang dari segala lapisan.
Bagi saya pribadi, Sir Didi adalah seorang filsuf-praktisi. Seorang pemikir. Tetapi juga seorang praktisi. Gabungan dari olah pikir dan olah praktis itu adalah musik yang sangat "daily" tadi. Mudah menyentuh, mudah dinikmati. Musiknya menjadi personifikasi belarasa. Saking kerennya, para jomblowan-jomblowati seperti terfasilitasi menentukam skema patah hati yang akan dipilih. Kalau perlu patah hati dulu meski tidak melalui fase jatuh cinta.
Dalam aransemen tertentu, lagu-lagu Sir Didi dapat menjadi lebih "everlasting". Yang tidak suka jingkrak-jingkrak sambil menari dalam tawaran genre campur sari dapat menikmati juga dalam lantunan yang lebih "jazzy". Dua-duanya bisa dalam penderitaan yang sama: memasuki fase patah hati terlebih dahulu.
Kalau di depan namanya pendaftaran, kalau di belakang namanya penyesalan. Ini pameo menertawakan hal yang sudah dilewati tetapi tidak dapat diulang. Seperti dulu jatuh cinta tetapi tidak berani mengungkapkan, dan sekarang sudah terlampaui. Kerennya, hal ini tidak berlaku dalam pergulatan pemikiran sang filsuf Sir Didi. Break your heart first!
Mungkin ini seperti permenungan Bunda Teresa: cintai sampai tidak ada yang dapat melukaimu. Dalam kemasan yang berbeda tentu: patah hatilah terlebih dahulu sampai cinta tidak akan mampu membuatmu terpuruk kemudian.
Coba tengok syair lagu Banyu Langit:
/Swara angin, angin sing ngreridu ati
ngelingake sliramu sing tak tresnani
Pingin nangis ngetokke eluh neng pipi
suwe ra weruh senajan mung ana ngimpi/
Suara angin pun mengingatkan pada kekasih hati, yang lama tidak ditemui meski hanya di dalam mimpi.
/Ngalema, ngalem neng dadaku
tambanana rasa kangen neng atiku
Ngalema, ngalema neng aku
ben ra adem kesiram udaning dalu/
Ini adalah bagian yang syahdu. Sudah tahu tidak ada di sisi tetapi diarepin akan bersandar di dada. Supaya tidak terasa dingin seperti terkena siraman air hujan.
/Banyu langit sing ana nduwur kayangan
watu gedhe kalingan mendunge udan
Telesana atine wong sing kasmaran
setya janji seprene tansah kelingan/
Tetapi memang, bisa saja ini adalah sebuah kejujuran: kasmaran dalam jangka panjang. Hingga selalu terkenang. Banyak orang mengalami meski gagal membuatnya menjadi platonis.
/Ademe gunung merapi purba
melu krungu swaramu ngomongke lapa
Ademe gunung merapi purba
sing neng langgran Wonosari Yogyakarta
Janjine lungane ra nganti suwe suwe
pamit esuk lungane ra nganti sore
Janjine lunga ra nganti semene suwene
nganti kapan tak enteni sak tekane/
Mungkin seperti ketulusan Hachiko menunggu tuannya di gerbang stasiun.
/Udan gerimis telesana klambi iki
jroning dada ben ra garing ngekep janji
Ora lamis nggedhineng nggonku nresnani
nganti kapan aku ora bisa bali/
Tetapi, bersetia janji tidak mudah. Perlu bantuan pihak lain. Mungkin karena tidak dapat ditanggung sendirian. Seperti hujan yang membantu supaya janji akan terus menghumus, menumbuhsuburkan rasa rindu.
/Ademe gunung merapi purba
melu krungu suaramu ngomongke lapa
Ademe gunung merapi purba
sing neng langgran Wonosari Yogyakarta.
Janjine lungane ra nganti suwe suwe
pamit esuk lungane ra nganti sore
Janjine lunga ra nganti seprene suwene
nganti kapan tak enteni sak tekane/
Bagian ini mirip seperti lagu lain tentang Sri, yang pamit hanya untuk membeli terasi di warung sebelah tetapi tidak kunjung tiba kembali. Lalu hanya teriakan sendu merayu: Ndang balio, Sri! Lekaslah pulang, Sri!
Begitulah. Dalam seretan definisi kaya-miskin dalam ekonomi modern, toh sebenarnya tidak ada yang berubah di dunia ini. Bila menengok Suku Badui Dalam, misalnya, mereka terasa lebih kaya dari belahan dunia kapitalistik. Baik penjajahan kepada para pekerja, atau penjajahan industri kepada para buruhnya yang dalam situasi tertentu disetarakan dengan mesin produksi.
Dan lalu narasi Sir Didi seperti persembunyian yang ugahari dalam tekanan ekonomi modern yang hanya berhasil membuat definisi kemiskinan menjadi terus menguat. Maka, dalam narasi-narasi Sir Didi, hal yang dulu tidak mungkin sekarang menjadi mungkin. Yang dulu jatuh cinta dulu baru patah hati, sekarang dapat patah hati dulu dan jatuh cinta kemudian.
Sungguh, Sir Didi adalah seorang filsuf!
| Magelang | 7 September 2019 | 10.01 |
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H