Rasanya pantas untuk mengharapkan supaya pola didik di sekolah lebih menitikberatkan pada daya asah pengenalan diri pribadi, alih-alih terus melatih mereka berkompetisi. Jauh lebih penting mereka mampu menjadi bagian dari sesamanya. Bahwa kita semua adalah mahkluk sosial. Homo socius. Seberapapun hebatnya.
But if you want to leave take good care
Hope you have a lot of nice things to wear
But then a lot of things turn bad out there
Oh baby baby it's a wild world
It's hard to get by just upon a smile
Oh baby baby it's a wild world
I'll always remember you like a child girl
(Wild World, Mr. Big)
Bagi orangtuanya, anak adalah selalu seorang anak. Lucu. Menggemaskan. Nakal. Membuat kangen. Selalu menjadi hal pertama yang dicaripikirkan ketika kaki melangkah memasuki rumah.
Rumah yang berantakan adalah alunan yang merdu. Bahwa di rumah ada kehidupan yang dinamis. Tidak monoton. Kaku atau membosankan. Buku di lantai. Mainan di kursi. Semua terasa hebat.
Kalau saja bisa, mata orangtua juga hendak melangkahikuti ke mana mereka pergi. Sekedar memastikan bahwa semua akan berlangsung baik.
Ketika motor yang dikendarai hilang di tikungan pertama, membuat tanda salib masih tidak terasa cukup. Ketika sepeda yang dikayuh terus mengecil karena jarak yang menjauh, ada naluri yang mendorong untuk terus ingin mengikuti.
Tapi itu tidak mungkin terjadi. Semua berubah. Bertumbuh. Mereka, anak-anak, akan menyusuri jalan hidupnya sendiri. Menggunguli ketakutannya sendiri. Malawan kekuatiran mereka sendiri. Membangun mimpi mereka sendiri.
Yosi, adik Daniel, berjalan mondar-mandir ketika abangnya mengikuti kegiatan sekolah selama sepekan tanpa alat komunikasi.
"Abang kapan pulang, Ma?" tanyanya selalu pada simboknya.
Pertanyaan itu adalah juga harapan simboknya. Kemudian kegiatan berakhir dan kami melihat Daniel pulang dengan wajah lelah dan bersemangat.
"Aku nggak biduran lho, Ma," katanya mewakili antusiasmenya. Padahal biduran adalah musuhnya ketika hawa mendingin. Tetapi perjalanan kaki di bawah hujan membangkitkan energi tersembunyi. Kekebalan tubuhnya berada di kondisi terbaik. Ia belajar mengatasi dirinya.
Â
Di kelas 2 SD, Daniel mengalami perundungan. Pensil, penggaris dan banyak hal selalu hilang pada hari ketiga. Badannya mengurus. Tetapi tidak berani berkata bahwa ia tidak ingin sekolah. Semua menjadi normal ketika kami memindahkan ke sekolah lain.
Banyak hal terjadi di luar rumah. Sebagian tidak diharapkan terjadi. Sebagian mengkhawatirkan. Sisanya menakutkan. Meski sebagian besar membawa harapan.
Kualitas niat memusuhi pihak lain selalu meningkat. Termasuk kualitas tindakan. Seiring kemajuan teknologi. Seiring perubahan pola lingkungan yang terus menggulung-membesar seperti bola salju yang tidak kasat mata. Mengancam tetapi tidak dapat dibendung. Menakutkan tetapi tidak dapat dihindari. Semua terus terjadi dan begitu seterusnya.
Rasanya pantas untuk mengharapkan supaya pola didik di sekolah lebih menitikberatkan pada daya asah pengenalan diri pribadi, alih-alih terus melatih mereka berkompetisi. Jauh lebih penting mereka mampu menjadi bagian dari sesamanya. Bahwa kita semua adalah mahkluk sosial. Homo socius. Seberapapun hebatnya.
Kasus Audrey adalah ironi pendidikan. Sepertinya ada sebagian yang lebih cepat mengasah kukunya untuk melukai orang lain, daripada mengasah nalarnya. Itu semua terjadi ketika membaca referensi tindakan kejahatan semudah menggoyanggerakkan jari di atas layar monitor gawai.
Kita, orangtua, adalah pihak yang hanya bisa berharap bahwa hal buruk akan semakin sedikit terjadi. Mr. Big menuliskan sebagai bait lagu, bahwa banyak hal berubah menjadi semakin buruk.
Dengan terus mengulang basmalah, dengan banyak mengulang tanda salib, para orangtua meletakkan kekhawatirannya. Menumbuhsuburkan harapan baik bagi semua anak-anak.
Teriring segenap doa bagi Audrey.
| Posong | 10 April 2019 | 19. 30 |
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H