Rasanya pantas untuk mengharapkan supaya pola didik di sekolah lebih menitikberatkan pada daya asah pengenalan diri pribadi, alih-alih terus melatih mereka berkompetisi. Jauh lebih penting mereka mampu menjadi bagian dari sesamanya. Bahwa kita semua adalah mahkluk sosial. Homo socius. Seberapapun hebatnya.
But if you want to leave take good care
Hope you have a lot of nice things to wear
But then a lot of things turn bad out there
Oh baby baby it's a wild world
It's hard to get by just upon a smile
Oh baby baby it's a wild world
I'll always remember you like a child girl
(Wild World, Mr. Big)
Bagi orangtuanya, anak adalah selalu seorang anak. Lucu. Menggemaskan. Nakal. Membuat kangen. Selalu menjadi hal pertama yang dicaripikirkan ketika kaki melangkah memasuki rumah.
Rumah yang berantakan adalah alunan yang merdu. Bahwa di rumah ada kehidupan yang dinamis. Tidak monoton. Kaku atau membosankan. Buku di lantai. Mainan di kursi. Semua terasa hebat.
Kalau saja bisa, mata orangtua juga hendak melangkahikuti ke mana mereka pergi. Sekedar memastikan bahwa semua akan berlangsung baik.
Ketika motor yang dikendarai hilang di tikungan pertama, membuat tanda salib masih tidak terasa cukup. Ketika sepeda yang dikayuh terus mengecil karena jarak yang menjauh, ada naluri yang mendorong untuk terus ingin mengikuti.
Tapi itu tidak mungkin terjadi. Semua berubah. Bertumbuh. Mereka, anak-anak, akan menyusuri jalan hidupnya sendiri. Menggunguli ketakutannya sendiri. Malawan kekuatiran mereka sendiri. Membangun mimpi mereka sendiri.