Mohon tunggu...
Adrian Diarto
Adrian Diarto Mohon Tunggu... Petani - orang kebanyakan

orang biasa. sangat bahagia menjadi bagian dari lansekap merbabu-merapi, dan tinggal di sebuah perdikan yang subur.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Aku, Minoritas yang Berbahagia

23 Desember 2018   12:26 Diperbarui: 23 Desember 2018   12:55 326
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dengan jumlah hanya sekitar 3% dari total jumlah penduduk, menjadi penganut Katolik di Indonesia itu sedap-sedap ngeri. Mengapa sedap-sedap ngeri? Karena lebih banyak sedapnya. Dan ada lebih sedikit ngerinya. Sedapnya adalah dikelilingi sahabat-sahabat Muslim yang baik hati. Entah apa jadinya tanpa kehadiran mereka. Ngerinya, tentu, beberapa fakta yang membawa pada ketidakberdayaan.

Merayakan Perbedaan

Setelah tinggal dan bekerja di Yogyakarta dalam sepuluh tahun terakhir, pengalaman menjadi minoritas saya terima dan saya maknai. Sewaktu bekerja di Jakarta pada sebuah korporasi dengan jumlah penganut Katolik yang lumayan banyak. Jadi frasa minoritas tidak cukup terasa.

Tetapi justru dengan menjadi minoritas dari sisi kuantitas, saya mengamini Islam sebagai berkah bagi semesta. Saya berinteraksi dengan sahabat-sahabat Muslim. Tertawa bersama mereka. Berbeda pendapat bersama mereka. Pergi ta'ziah bersama mereka. Pinjem uang ke mereka juga. Menikmati outbound bersama mereka. Kami tertawa dan, kadang, panik bersama-sama. Juga berjerih bersama.

Memang, seperti dalam lelucon manajemen, di mana pun selalu ada sebagian kecil yang menjadi pembawa persoalan. Troublemakers. Bikin gak nyaman. Bikin gemas. Kadang bikin naik pitam juga. Tapi itu hanya sedikit. Dan sedikit tidak pernah berarti banyak. Sedikit adalah sedikit. Memahami sedikit sebagai banyak juga bukan pilihan yang proposional. Mengeluhkan yang sedikit dan menafikan yang banyak tentu tidak seyogyanya.

Jangankan dalam kehidupan sosial, dalam keluarga yang lingkupnya lebih kecil saja selalu ada pembuat onar. Yang unik dari keluarga adalah pembuat onarnya dapat bergantian. Sebagian kecilnya selalu bergantian. Kadang ayah. Kadang ibu. Kadang kakak. Kadang adik. Kadang asisten rumah tangga. Kadang ayah dengan asisten rumah tangga. Eh, nggak lah. Yang terakhir ini cuma bercanda saja.

Para bijak-bestari tidak lelah berpesan. Ada orang yang datang sebagai berkat. Ada yang datang sebagai guru. Ada yang datang sebagai pembawa pendewasaan. 

Dalam konteks ini, para pembawa persoalan dapat dikategorikan sebagai pembawa pendewasaan. Akan tetapi bila sudah kelewatan atau di luar batas, tentu dapat dikategorikan sebagai tindak kriminal. Pada titik ini, negara harus hadir. Negara harus tampak. Negara harus mengambil peran yang tegas.

Ekualitas di Hadapan Hukum

Dari banyak cerita yang tersebar, hakim di Amerika ditakuti oleh para pelanggar aturan. Bila sudah berurusan dengan hakim, suara langkah sepatu mereka di ruang-ruang sidang yang berwibawa sudah dapat membuat nyali menjadi ciut.
Bagaimana dengan hakim di Indonesia? 

Kabar memberitakan bahwa hakim yang berwibawa dan disegani sepertinya hanya itu-itu saja orangnya. Komisi Pemberantasan Korupsi bahkan berhasil menangkap banyak hakim yang bermain mata dengan para pelanggar konstitusi. Biasanya terkait uang suap.

Terkait suap sabagai tindakan korupsi sudah bukan hal aneh. Di ranah olah raga sepakbola, para pengatur skor pertandingan adalah momok besar kompetisi di Indonesia. Maaf, seperti kentut katanya. Tercium baunya yang busuk, tetapi tidak pernah terlihat wujudnya.

Prinsip ekualitas di depan hukum tentu harus dimulai dari para aparat penegaknya. Menimpakan titik tumpu beban pelanggaran kepada para pemberi suap tentu sebuah kesalahan. Analogi para penjaga jembatan timbang yang menerima suap recehan dari para sopir truk yang melanggar bobot muatan rasanya pas. 

Jalan tidak akan lebih cepat rusak bila bobot kendaraan terkendali. Bila para pemegang tongkat komando runduk terhadap recehan, maka niat mulia menjaga marwah martabat bangsa seperti tergilas oleh roda-roda truk yang sarat muatan dan melanggar kesepakatan bersama.

Nisan Salib yang Dipotong

Fakta pemotongan nisan salib di Yogyakarta beberapa waktu lalu juga menyentakkan kesadaran bersama. Menyentakkan keniscayaan keberagaman. Sahabat-sahabat Muslim yang saya jumpai tersentak. Saya sebagai pengaku umat Katolik juga tersentak. Kaget. Tidak mudah memahami.

Setidaknya ada tiga hal dari fakta di ini. Pertama, adalah pemahaman mayoritas dan minoritas. Kedua, penggunaan simbol keagamaan yang dilindungi oleh undang-undang. Ketiga, arti penting kehadiran dan keterlibatan negara dalam setiap sendi kehidupan bersama.

Mayoritas dan Minoritas
Dengan prinsip ekualitas di depan hukum, maka mayoritas dan minoritas adalah hanya penghitungan kuantitas untuk kepentingan data statistik. Dengan dijaminnya setiap warga negara untuk memeluk agama dan menjalankan kewajiban agamanya, semestinya mayoritas dan minoritas adalah hanya hitungan angka.

Pada gilirannya, kontribusi riil demi kemajuan bangsa adalah yang dipakai sebagai tolok ukur pengejawantahan nilai-nilai kebaikan. Pendidikan semakin baik. Kesehatan semakin meningkat. Kecukupan gizi semakin merata. Perumahan dan tempat tinggal semakin mendekati kelayakan sanisitas untuk kualitas hidup yang meninggi. Lalu adil makmur gemah ripah loh jinawi ada dalam jangkauan yang semakin dekat untuk teraih.

Dalam ranah politis, misalnya, bila nilai-nilai keagamaan masih hanya lebih banyak dipakai untuk kemasan pemasaran maka situasi ideal masih akan terus menjauh. Misi-misi yang nyata dan realistis semestinya terpaparkan dengan baik dan teraih dengan pengukuran. 

Sejauh para calon anggota legislatif hanya menyuplik nilai ideal sebagai strategi marketing dan hal-hal mendasar yang tidak perlu diperbincangan (seperti: jujur dan kerja keras) masih menjadi tag-line andalan, maka keadaan yang lebih ideal masih hanya ada di ranah diskusi. 

Adagium "bila agama dicampuradukkan dengan politik maka kebathilan mendapat kemasan terbaiknya" bisa jadi masih menjadi fakta yang tidak bisa diperdebatkan.

Keberagaman adalah Keniscayaan
Ada hal-hal yang dapat dirubah, dan ada hal-hal yang harus diterima. Suku dan agama adalah salah dua yang memang harus diterima. Dengan ribuan pulau dan keberagaman suku-bahasa, maka keberagaman di Indonesia adalah hal yang harus diterima. Mengingkari keberagaman adalah hanya pilihan cara menghabiskan hidup dengan sia-sia.

Juga, dengan Katolik hanya 3% dari jumlah total, maka tidak akan ada banyak hal yang dapat dilakukan bila berjalan sendiri. Satu-satunya pilihan adalah berusaha menjadi garam dan terang. Menjadi terbuka. Tidak ekslusif. Pilihan yang tidak mudah. Pilihan yang sangat berat untuk dijalani. Tetapi itulah jalan kebermaknaan yang dapat diusahakan untuk diraih.

Ada saatnya garam yang ditaburkan terasa tawar. Ada saatnya terang yang ditawarkan dianggap menganggu penglihatan. Lumrah dan manusiawi. Hidup bersama adalah pergerakan yang tidak pernah berhenti. Proses menuju dan proses menjadi yang terus dilakukan.

Mensyukuri Indonesia adalah rahmat. Maka, 100% Katolik 100% Indonesia adalah pilihan yang tidak pernah salah.

Akhirnya, semoga catatan kecil dan sederhana, yang tidak mewakili pihak manapun maupun institusi mana pun ini, dapat menghadirkan manfaat, kegembiraan dan juga rasa syukur. Dan yang terpenting adalah harapan. Ke depan situasi akan semakin baik. 

Salam hangat untuk Indonesia yang terus maju!
Dari seorang rahayat biasa di lereng Gunung Merbabu,


Posong, 22 Desember 2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun