Kalau dalam skala kota (bukan orang atau pribadi), maka kota yang berhasil dan menjadi ramah terhadap penduduknya adalah kota-kota yang melakukan pengelolaan hal-hal kecil dan sederhana dengan kesungguhan sehingga memberikan manfaat yang besar bagi warganya.
Pengelolaan saluran air, misalnya. Bila semua alur dikelola baik maka tidak akan terjadi banjir yang menggenangi fasilitas publik. Atau terjadi banjir tetapi tetap bisa diatur-alirkan ke tempat yang semestinya dengan cara yang semestinya sehingga banjir tidak mengganggu-halangi aktivitas masyarakat. Karena bila terjadi intensitas curah hujan yang tinggi maka banjir di zona-zona tertentu tidak dapat dihindari, misalnya karena sifat topografis dataran.
Pada kasus ini maka yang paling mungkin untuk dilakukan adalah mengelola luapan sehingga tidak menyebabkan banjir yang menganggu. Menghilangkan banjir adalah hal yang tidak mungkin untuk dilakukan. Kasus di Jakarta pada tempo dulu adalah contoh bagus di mana (penjajah) Belanda melakukan pemetaan dan menetapkan zoning wilayah dengan baik. Nama-nama yang kita kenal sekarang adalah buah olah-pikir yang secara riil keren dan sesuai kebutuhan: Kebon Kacang, Kebon Jeruk, Pos Pengumben, Kebon Kopi dan masih banyak lagi.
Memilih pemimpin atau pelayan masyarakat?
Kota yang tanpa pengelola adalah hal yang tidak mungkin terselenggara. Karena pemilik kota adalah warga, maka pengelola adalah (hanya!) pembantu warga. Tidak lebih.
Tugas pengelola kota adalah untuk membantu warga mendapatkan akses yang maksimal. Tetapi secara anomali pembantu itu malah disebut ‘pemerintah’. Lho, bukankan mereka itu yang membantu. Yang melayani. Bukan yang dilayani. Bukan yang dibantu. Bukan yang memerintah.
Secara psikologis rasanya istilah-istilah yang dipakai pada tata-kelola pemerintahan perlu dan harus mendapat banyak penyesuaian. Sehingga pada tataran aplikasi riil tidak terjadi hal-hal yang salah-kaprah. Hanya karena pemimpin pelayan di tingkat kecamatan yang disebut bapak camat akan melakukan kunjungan ke kelurahan, misalnya, maka banyak warga desa yang harus mengorbankan pekerjaan dan waktunya yang berharga hanya untuk menyambut-melayani pelayannya. Tentu ini adalah hal yang tidak lazim sesungguhnya.
Maka dengan caranya yang khas, respon sebagian warga atas pemilihan Walikota Yogyakarta yang akan dilaksanakan dibahasakan sebagai ‘anyep kaya kulkas’. Dingin seperti kulkas. Hanya terdapat sedikit kegairahan. Toh, pada akhirnya, ‘mung arep kaya ngono maneh’. Hanya akan seperti itu (lagi).
Untuk apa berangkat lebih awal?
Pada sisi yang lain, peran serta masyarakat menjadi hal yang juga menentukan berhasil atau tidaknya sebuah kota menjadi lebih nyaman.
Contoh kecil adalah kebiasaan untuk berangkat ke tempat kerja atau sekolah  dengan perhitungan waktu yang ngepas. Yang mepet. Maka ketika semua akan memulai aktivitas di jam yang sama, katakan pada pukul 07.00 pagi, maka yang terjadi adalah penumpukan beban lalu-lintas yang besar pada durasi waktu sebelum pukul 07.00 pagi.