Seyogyanya, partai-partai politik menjadi pencipta arus besar diskusi bagi terwujudnya konstruksi pembangunan Jakarta semakin baik. Partai-partai politik harus menjadi penggagas yang kuat bagi terbangunnya Jakarta yang lebih manusiawi.
Poros koalisi yang dibangun Partai Demokrat hanya semakin meneguhkan pola kepemimpinan normatif mantan Presiden SBY. Perhelatan sepenting Pilkada DKI hanya dijadikan sebagai ajang ‘uluk-salam’. Sementara poros yang dikomandoi Partai Gerindra terkesan hanya bertarung sekedarnya. PDIP dan koalisinya juga hanya seperti ‘ketiban-pulung’, karena ternyata PDIP tidak berani menjagokan calon selain petahana.
Pilkada DKI seperti menjadi gambaran ironis dari cita-cita luhur tentang partai politik. Partai politik seperti hanya menjadi kelengkapan dan ke-sah-an yang diamanatkan undang-undang untuk terselengaaranya pilkada.
Seharusnya, konstruksi Jakarta baru yang semakin bermartabat dan kuat untuk mewujudkan (ibu) kota yang lebih asesibel bagi warganya tetap harus menjadi main-idea dalam (kampanye) Pilkada DKI. Bukan isu-isu yang tidak konstruksif, termasuk dengan melibatkan SARA.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H