Semestinya tidak ada yang aneh dengan Pilkada DKI. Semua normal. Berproses sesuai prosedur. Partai politik seperti biasa tetap hanya dalam skema oportunis terkait kekuasaan alih-alih mengkampayekan tentang ide besar membangun Jakarta jauh-jauh hari.
Manuver PDIP yang diambil-putuskan pada detik-detik terakhir dengan mengusung petahana membuat dua koalisi besar lainnya dengan motor Partai Gerindra dan Partai Demokrat seperti kebingungan dengan mencomot pasangan yang terkesan seadanya.
Profil Anis Baswedan yang sudah tidak lagi mencorong menjadi pilihan, karena menaruh Sandiaga Uno yang kurang berpengalaman sebagai calon gubernur seperti kurang dapat menjadi kartu as.
Sementara Agus Harimurti yang diusung Partai Demokrat mengakui di acara Mata Najwa sebagai based-on a phone call from SBY sepertinya memang tidak ditargetkan untuk menang, hanya memanfaatkan momen Pilkada untuk “uluk-salam” atau memberi salam tentang kehadirannya secara resmi di panggung dunia politik. Demokrat berusaha menjadikan Pilkada DKI sebagai titik balik kebangkitan setelah banyak sekali kader potensial partainya terseret kasus korupsi.
Kemakmuran: Proses atau Hasil Akhir?
Salah satu ide besar para pendiri bangsa adalah menyiapkan landasan yang kuat bagi kemakmuran Indonesia ke depan yaitu dengan menggapai kemerdekaan. Dengan kemerdekaan, bangsa Indonesia memiliki hak sepenuhnya atas dirinya untuk menentukan masa depannya.
Dalam perjalanannya, kemakmuran itu dibuktikan sebagai proses jatuh bangun. Periode kekuasaan tertentu yang lazim disebut sebagai orde berusaha untuk mewujudkan kemakmuran dengan semua kelebihan dan kekurangannya.
Periode pembangunan yang terencana baik mulai dari pentahapan sampai penetapan ukuran keberhasilan dicanangkan oleh Orde Baru dibawah rezim Presiden Soeharto. Pada Rencana Pembangunan Lima Tahun-an yang terakhir dicanangkan Bangsa Indonesia akan menjadi bangsa yang sejahtera dan makmur. Dalam Pedoman Penghayatan Pengamalan Pancasila dibahasakan secara ideal sebagai Membangun Manusia Indonesia Seutuhnya. Dari sisi perencanaan, rencana pembangunan lima tahunan itu terlihat cukup bagus.
Pada akhir dari implementasi rencana lima tahunan ke-lima, alih-alih Bangsa Indonesia berhasil meninggalkan landasan, Bangsa Indonesia (ternyata!) tetap masih hanya tinggal di landasan. Bukan karena rencana yang kurang terukur dan kurang bagus, tetapi mentalitas korupsi membuat bangsa ini tetap terasa kerdil justru karena dirinya sendiri bukan karena agitasi bangsa lain. Hutang yang bila dikelola dengan baik dapat menjadi titik tumpu loncatan kebebasan, tetapi malah seperti keledai yang semakin terperosok jauh ke dalam lubang.
Dua periode kepemimpinan Presiden SBY terasa sangat lama karena negara hanya dikelola secara normatif. Tanpa terobosan-terobosan berarti. Bila tetap amanah, Presiden Jokowi memberikan harapan yang lebih baik bagi Indonesia di masa depan. Banyak terobosan signifikan mulai dari pembangunan infrastruktur, memerangi korupsi yang sudah sangat sistemik, sampai yang terakhir melalui program amnesti pajak yang mengklaim telah berhasil memulangkan harta sebanyak lebih dari Rp4.000.000.000.000.000,-. Sebuah jumlah yang mungkin Presiden SBY selama masa kepemimpinannya tidak cukup berhasil meskipun hanya untuk membayangkan.
Kemakmuran adalah proses jatuh bangun membangun kebanggaan sebagai bangsa. Beberapa negara yang tebih dulu berhasil membuktikan bahwa (proses) kemakmuran tidak dapat dibangun secara koruptif.
Kenali Kotanya dengan Lalu-lintasnya
Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta juga seperti sedang menggeliat dari tidurnya dibawah Gubernur Basuki. Setelah era Gubernur Sutiyoso dan Gubernur Fauzi juga hanya mengelola secara normatif.
Kota seperti Jakarta yang semestinya menjadi lebih asesibel bagi warganya juga perlu dibangun dengan terobosan-terobosan. Pola manajerial normatif terbukti tidak membawa Jakarta menjadi kota yang lebih baik dalam penyelenggaran dirinya.
Ada ungkapan yang menyatakan bahwa untuk mengenali apakah sebuah kota terkelola dengan baik atau tidak adalah dengan mengenali keadaban berlalu-lintasnya.
Situasi ini rupanya ditangkap dengan sangat baik oleh Gubernur Jokowi dan dilanjutkan oleh Gubernur Basuki. Sinergitas pasangan ini telah membawa perubahan yang signifikan dan harapan yang menjanjikan bagi Jakarta yang lebih baik di masa depan.
Pola transportasi publik dalam skema Mass Rapid Transportation (MRT), yang selama bertahun-tahun hanya menjadi diskusi dan mimpi, direalisasikan oleh beliau berdua. Meskipun masih harus bersabar karena proses pembangunan, pengalihan dari transportasi privat ke transportasi publik diyakini akan membawa dampak yang sangat signifikan bagi efisiensi mobilitas kota.
Disamping transportasi, kualitas layanan birokrasi dan pengelolaan lingkungan yang semakin baik juga memberi harapan besar bagi Jakarta yang lebih asesibel.
Pasar Tanpa Seleksi
Pengelolaan kota secara normatif oleh beberapa gubernur setelah Gubernur Sadikin sampai sebelum Gubernur Jokowi telah menciptakan Jakarta menjadi seperti pasar tanpa seleksi.
Jual-beli perijinan pembangunan oleh birokrasi pemerintahan yang merusak keseimbangan ekosistem kota, pelayanan birokrasi yang menjengkelkan serta banjir yang semakin memburuk dari tahun ke tahun menghadirkan Jakarta sebagai kota yang semakin merimba.
Kembali ke Semangat Awal
Seyogyanya, partai-partai politik menjadi pencipta arus besar diskusi bagi terwujudnya konstruksi pembangunan Jakarta semakin baik. Partai-partai politik harus menjadi penggagas yang kuat bagi terbangunnya Jakarta yang lebih manusiawi.
Poros koalisi yang dibangun Partai Demokrat hanya semakin meneguhkan pola kepemimpinan normatif mantan Presiden SBY. Perhelatan sepenting Pilkada DKI hanya dijadikan sebagai ajang ‘uluk-salam’. Sementara poros yang dikomandoi Partai Gerindra terkesan hanya bertarung sekedarnya. PDIP dan koalisinya juga hanya seperti ‘ketiban-pulung’, karena ternyata PDIP tidak berani menjagokan calon selain petahana.
Pilkada DKI seperti menjadi gambaran ironis dari cita-cita luhur tentang partai politik. Partai politik seperti hanya menjadi kelengkapan dan ke-sah-an yang diamanatkan undang-undang untuk terselengaaranya pilkada.
Seharusnya, konstruksi Jakarta baru yang semakin bermartabat dan kuat untuk mewujudkan (ibu) kota yang lebih asesibel bagi warganya tetap harus menjadi main-idea dalam (kampanye) Pilkada DKI. Bukan isu-isu yang tidak konstruksif, termasuk dengan melibatkan SARA.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI