Awalnya tidak terlalu tertarik karena persepsi pribadi atas cita-rasa umbi talas. Tetapi demi menghargai tuan tuan rumah, sepotong talas yang paling kecil ku ambil.
Ketika menempel di bibir, umbi talas terasa manis. Tidak terlalu manis. Tapi terasa sayang untuk mengabaikan rasa manis itu. Dua-tiga gigitan dan disusul dengan air teh yang membasahi tenggorokan sudah cukup menjadi alas an untuk memutuskan mengambil potongan umbi talas berikutnya.
Pada akhir pembicaraan, sepiring sisa umbi talas yang manis dan lembut itu kuminta untuk di bawa pulang. Seakan tahu yang telah kupikirkan dan kuinginkan kemudian, tuan rumah hanya tertawa ramah dan mengundang untuk datang lagi minggu depan. Jadilah aku membawa pulang satu kantong kecil umbi talas yang luar-biasa.
Tetapi sore itu juga lalu menjadi pengalaman spiritual yang lain. Menggagumi proses. Menghargai kerja-keras. Dikuatkan oleh ketulusan dan keihklasan. Diteguhkan dengan tepukan lembut simbok yang menyakinkan bahwa semua akan berlangsung baik dalam penyelenggaraanNya.
Tidak dalam kungkungan ritual yang menakutkan dan membuat bosan, tapi dalam balutan kebersahajaan dan ke-ugahari-an. Berproses dalam kepasrahan dan keyakinan sekaligus.
Menyandarkan Masa Depan Pada Pelepah Daun
Bumbung kosong tersebut akan mengganti-gantungkan yang sudah terisi penuh air nira sebagai bahan baku gula.
Cuaca tidak pernah menjadi penghalang bagi para penderes. Bila saatnya untuk mengambil, maka hujan-pun bukan halangan.
Pohon kelapa yang biasanya ditumbuhi lumut pada batangnya biasanya cukup licin untuk dipanjat meskipun tidak hujan. Apalagi bila diguyur-basahi oleh hujan. Hanya para penderes berpengalaman yang dapat melakukan dengan baik.
Bila sudah sampai di ‘atas’, para penderes dapat begitu saja duduk nyaman di pelepah daun untuk memasang-gantikan bumbung. Yang tidak biasa akan ikut merasa kesemutan kakinya bila membayangkan para penderes ‘beraksi’. Bayangan seram sudah membayangi yang melihat: bagaimana kalau pelepahnya tidak cukup kuat menahan beban berat badan?