Mohon tunggu...
Adrian Diarto
Adrian Diarto Mohon Tunggu... Petani - orang kebanyakan

orang biasa. sangat bahagia menjadi bagian dari lansekap merbabu-merapi, dan tinggal di sebuah perdikan yang subur.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Full-Day School, Full-School Day, atau Fool-Day School?

14 Agustus 2016   13:31 Diperbarui: 15 Agustus 2016   06:49 412
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pernyataan Menteri Pendidikan beberapa waktu lalu, patut diduga dari setidaknya tiga sudut pandang.

Pertama, mungkin maksud beliau adalah anak-anak mendapat kesempatan pembelajaran selama seharian penuh. Jika opsi pertama ini yang hendak dimaksud maka Menteri Pendidikan mungkin mengacu pada isitilah yang kurang tepat, yaitu Full-Day School.

Kedua, bila Menteri Pendidikan mengharapkan anak-anak mendapat perhatian yang lebih penuh dari para pelaku di dunia pendidikan, maka istilah Full-School Day dapat menjadi lebih sesuai.

Ketiga, bila tidak mengacu pada kedua sudut pandang di atas dan kemudian anak-anak hanya menjadi obyek kebijakan semata maka, mohon maaf, istilah yang sesuai adalah Fool-Day School.

Full-School Day

Dalam perjalanan pada suatu pagi ke Jakarta, secara kebetulan duduk bersebelahan dengan salah satu arsitek senior. Beliau senang bertukar pendapat. Pertama, supaya perjalan menjadi tidak membosankan. Kedua, bertukar pendapat selalu menjadi kesempatan memperluas wawasan. Ketiga, budaya kita yang sebenarnya, menurut beliau, adalah budaya komunal. Yaitu budaya kesebersamaan. Budaya yang guyup. Budaya yang hangat. Saling aruh-aruh, saling menyapa.

Beliau bercerita, pernah pada suatu kali seorang Profesor teman seperjalanannya merasa tidak layak ditegur oleh pramugari hanya karena sang Profesor mengobrol sepanjang perjalanan. Profesor itu mengatakan yang tidak suka dengan orang yang bertukar-pengetahuan melalui obrolan berarti ia tidak memahami akar-budayanya sendiri sebagai masyarakat komunal yang hangat. Saling aruh-aruh, saling menyapa.

Bepergian naik kendaraan umum seperti bus adalah salah satu yang menyirikan masyarakat komunal. Tidak mementingkan situasi privat seperti naik kendaraan pribadi. Dengan naik kendaraan umum, dimungkinkan mendapat banyak pengalaman. Menemui banyak peristiwa. Menangkap banyak sudut pandang. Bayangkan bila pergi dengan naik kendaraan pribadi yang dapat sangat terasa terlalu privat dan monoton.

Anak-anak sebagai bagian dari mahkluk yang bersifat sosial juga perlu mendapat banyak pengalaman hidup bersosial bersama orang lain. Mengalami dinamika. Menyerap banyak hal yang terjadi di lingkungan hidupnya. Banyak yang mengkhawatirkan bila anak-anak seharian terkungkung dalam sistem yang seragam di sekolah maka nantinya dapat menjadikan pribadi yang asosial. Serba canggung. Serba kaku. Tidak memiliki keluwesan dan kemampuan berkomunikasi dengan orang dari banyak latar belakang. Padahal secara fakta, Indonesia adalah negara yang sangat majemuk.  Baik dari sisi sosial maupun budaya. Apa jadinya Indonesia bila nantinya dipenuhi oleh generasi yang selalu kaku dan serba tidak luwes?

Bertemu banyak pengalaman di kehidupan sehari-hari, anak dimungkinkan belajar dari lebih banyak hal. Sehingga pembelajaran tidak hanya selalu dan hanya melalui buku-buku teks di ruang sekolah. Anak-anak membutuhkan sosialisasi untuk bertumbuh sebagai pribadi yang lebih dewasa melalui proses pendidikan baik di sekolah maupun di lingkungan tempat tinggalnya. Dengan demikian anak-anak sungguh berkesempatan mendapatkan pembelajaran selama sehari penuh. Baik di sekolah maupun di lingkungan sosial. Full-School Day.

Full- Day School

Beberapa alasan ringkas seringkali dipakai sebagai dasar argumen untuk memilih sekolah dengan jam ‘sehari’  penuh. Misalnya karena kedua orang-tuanya bekerja. Supaya anak-anak tetap berada dalam pengawasan ketika orang-tuanya bekerja.  

Atau juga ada yang sengaja memilih pola seharian penuh di sekolah agar orang-tua dapat melakukan kegiatan lainnya secara lebih leluasa. Padahal, peran orang-tua sungguh tidak dapat digantikan oleh sistem apapun. Orang-tua adalah pendidik yang pertama dan terutama. Sekolah hanya membantu.

Menurut pengamat pendidikan, pola Full-Day School dapat beresiko bagi pertumbuhan anak. Salah satunya adalah anak-anak dapat menjadi kurang luwes bergaul dalam lingkungan sosial tadi.

Negara seperti Finlandia yang memiliki suberdaya manusia yang unggul  justru menerapkan pola  jam belajar sekolah yang tidak terlalu panjang. Itupun menurut informasi juga tidak dibebani oleh pekerjaan rumah yang menumpuk.

Full-Day School bisa saja berpola jam belajar di sekolah terbatas tetapi kemudian anak-anak mendapat setumpuk tugas setiap harinya sehingga mau-tidak-mau juga menjadi tidak memiliki kesempatan bergaul lebih leluasa di luar lingkungan sekolah. Salah satu pertimbangan yang diambil mengapa anak-anak perlu mendapat banyak tugas adalah supaya tidak ada kesempatan untuk bertindak ‘aneh-aneh’ di luar lingkungan sekolah.

Apapun pola Full-Day School yang diterapkan, resiko anak-anak menjadi lebih asosial kemungkinan besar dapat terjadi.

Jangan Sampai Menjadi Fool-School Day

Membuka diskusi di ruang publik tentang pendidikan seyogyanya tidak dilakukan secara serampangan. Karena bila sudah bergulir dapat lalu menjadi seperti bola salju. Semakin lama semakin besar dan tidak ada yang dapat menghentikan lajunya. Yang paling parah, inti diskusi dapat menjadi melebar tidak karuan. Semakin menjauh dari inti persoalan. Bias. Yang terjadi kemudian adalah situasi yang kontra-produktif.

Terkait pendidikan di Indonesia, sudah terlanjur menyebar jargon yang kurang positif yaitu : Ganti Menteri, Ganti Kebijakan.

Untuk generasi yang lahir sampai tahun 80-an mungkin mengalami istilah ‘jagalah baik-baik, buku pelajaran akan diwariskan ke adik kelasmu’. Pada waktu itu, sistem kurikulum cukup stabil. Sejauh dialami, yang ada adalah pengayaan materi tanpa perubahan yang drastis.

Membangun pendidikan generasi muda mutlak tidak-dapat dilakukan secara grusa-grusu. Sembarangan tanpa pertimbangan yang matang. Belakangan karena mendapat banyak tentangan, Menteri Pendidikan lalu menarik wacana tersebut.  

Sebagai orang-tua yang memiliki anak-anak yang masih sekolah, situasi gonjang-ganjing di dunia pendidikan sangat tidak menguntungkan. Menyekolahkan mereka adalah seperti membangun pondasi bangunan. Tanpa pondasi kurikulum yang kokoh dan stabil, mustahil untuk mendapatkan bangunan pendidikan yang kuat dan elok.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun