Beberapa alasan ringkas seringkali dipakai sebagai dasar argumen untuk memilih sekolah dengan jam ‘sehari’  penuh. Misalnya karena kedua orang-tuanya bekerja. Supaya anak-anak tetap berada dalam pengawasan ketika orang-tuanya bekerja. Â
Atau juga ada yang sengaja memilih pola seharian penuh di sekolah agar orang-tua dapat melakukan kegiatan lainnya secara lebih leluasa. Padahal, peran orang-tua sungguh tidak dapat digantikan oleh sistem apapun. Orang-tua adalah pendidik yang pertama dan terutama. Sekolah hanya membantu.
Menurut pengamat pendidikan, pola Full-Day School dapat beresiko bagi pertumbuhan anak. Salah satunya adalah anak-anak dapat menjadi kurang luwes bergaul dalam lingkungan sosial tadi.
Negara seperti Finlandia yang memiliki suberdaya manusia yang unggul  justru menerapkan pola  jam belajar sekolah yang tidak terlalu panjang. Itupun menurut informasi juga tidak dibebani oleh pekerjaan rumah yang menumpuk.
Full-Day School bisa saja berpola jam belajar di sekolah terbatas tetapi kemudian anak-anak mendapat setumpuk tugas setiap harinya sehingga mau-tidak-mau juga menjadi tidak memiliki kesempatan bergaul lebih leluasa di luar lingkungan sekolah. Salah satu pertimbangan yang diambil mengapa anak-anak perlu mendapat banyak tugas adalah supaya tidak ada kesempatan untuk bertindak ‘aneh-aneh’ di luar lingkungan sekolah.
Apapun pola Full-Day School yang diterapkan, resiko anak-anak menjadi lebih asosial kemungkinan besar dapat terjadi.
Jangan Sampai Menjadi Fool-School Day
Membuka diskusi di ruang publik tentang pendidikan seyogyanya tidak dilakukan secara serampangan. Karena bila sudah bergulir dapat lalu menjadi seperti bola salju. Semakin lama semakin besar dan tidak ada yang dapat menghentikan lajunya. Yang paling parah, inti diskusi dapat menjadi melebar tidak karuan. Semakin menjauh dari inti persoalan. Bias. Yang terjadi kemudian adalah situasi yang kontra-produktif.
Terkait pendidikan di Indonesia, sudah terlanjur menyebar jargon yang kurang positif yaitu : Ganti Menteri, Ganti Kebijakan.
Untuk generasi yang lahir sampai tahun 80-an mungkin mengalami istilah ‘jagalah baik-baik, buku pelajaran akan diwariskan ke adik kelasmu’. Pada waktu itu, sistem kurikulum cukup stabil. Sejauh dialami, yang ada adalah pengayaan materi tanpa perubahan yang drastis.
Membangun pendidikan generasi muda mutlak tidak-dapat dilakukan secara grusa-grusu. Sembarangan tanpa pertimbangan yang matang. Belakangan karena mendapat banyak tentangan, Menteri Pendidikan lalu menarik wacana tersebut. Â