Mohon tunggu...
Adrian Diarto
Adrian Diarto Mohon Tunggu... Petani - orang kebanyakan

orang biasa. sangat bahagia menjadi bagian dari lansekap merbabu-merapi, dan tinggal di sebuah perdikan yang subur.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Laku Puasa dan Doa: Perjalanan Sunyi ke Dalam Diri

7 Juli 2016   16:58 Diperbarui: 19 September 2016   10:05 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tidak terasa sudah setahun berlalu, semenjak Ibu Yustina  Amirah dipanggil menghadap Tuhan. Tuhan yang dikasihi dan mengasihi. Catatan di bawah ini dibuat setelah peringatan 100 hari meninggalnya pada tahun lalu. Catatan ini mencoba memberikan sharing dari sisi dan pengalaman yang berbeda. Sebuah pengalaman nyata. Semoga sharing sederhana ini menghadirkan energi positif untuk meneguhkan perjalanan laku sunyi  jauh ke dalam diri. Laku yang jauh dari hiruk-pikuk. Jauh dari laku mencari perhatian dan simpati. Jauh dari laku kemarahan, umpatan dan caci maki. Terimakasih sudah meluangkan waktu membaca. 

Pukul 04.00 memberitahu yang menunggu bahwa akan pergi, jangan ada yang menangis. 

Pukul 05.45 meminta suami membuatkan teh manis dan minum bersama. 

Pukul 05.50 mengucapkan terimakasih, meminta tempat tidur diluruskan, mengatakan mau berangkat.

Pukul 06.00 ia meninggal dengan tenang ‘Sampaikan kepada rekan dan sahabat (bahwa), selama hidup, saya sangat bahagia karena dapat merasakan Kasih Allah yang tidak terbatas, termasuk ketika mengalami sakit yang tidak mudah ini’. 

Kemarin sore menghadiri peringatan 100 hari meninggalnya seorang ibu di Granting. Granting berlokasi di Kecamatan Manisrenggo, Kabupaten Klaten. Salah satu kecamatan di lereng Gunung Merapi. Dari Prambanan sekitar 30 menit perjalanan dengan kondisi lalu lintas yang lenggang. Tiga puluh menit bisa menjadi perjalanan yang cukup jauh bila kondisi lalu lintas lancar. Tetapi bisa hanya untuk menempuh beberapa kilometer pada kondisi lalu lintas yang macet, seperti jalur Grogol menuju Slipi (atau sebaliknya) di Jakarta pada rush-hours. Perjalanan dari Prambanan ke Granting melewati daerah luas yang ditanami tembakau oleh para petani. 

Tembakau, seperti diketahui, adalah jenis tanaman yang tidak membutuhkan banyak air untuk menghasilkan kualitas panenan  yang baik. Menurut kabar, di sekitar wilayah yang ditanami tembakau, hujan tidak akan turun ketika belum semua tanaman tembakau habis dipanen. Seperti pada musim kemarau saat ini. Pawang hujan berperan untuk memastikan bahwa tanaman tembakau aman dari guyuran hujan yang dapat merusak. Tidak aneh bahwa hujan menjadi sabar menanti ‘giliran’ turun seperti dikendaki. 

Kabar lain juga menyebutkan bahwa ketika berlangsung acara penting di kompleks Candi Prambanan maka hujan tidak akan turun karena peran para pawang hujan. Seperti ketika berlangsung Sendratari Ramayana. Atau mungkin juga pada perhelatan EO yang menampilkan Kenny G dan lainnya pada minggu depan ini. 

Meletakkan kehendak-diri dan membiarkan-diri dipakai oleh Allah bukan sesuatu yang gampang dilakukan. Terutama bila harus mengalami sesuatu yang tidak kehendaki. Sakit, misalnya. Dengan kemampuan mengolah dan mengelola situasi melalui kemampuan fikir dan analisa, banyak hal harus berjalan seturut keinginan. Seturut kehendak-hati. Semua harus logis. Harus masuk akal. Dan, dapat diterima secara nalar. Hal-hal yang di luar nalar, di luar akal adalah sesuatu yang harus dihindari, dipertanyakan, digugat atau disangsikan. 

Tidak heran, diri kemudian dipenuhi beragam persepsi yang dihasilkan dari oleh-pikir dari sudut-pandang yang dipilih untuk memenuhi hasrat yang akan dipenuh.  Bahwa Allah-pun kemudian harus menjadi masuk-akal. Sesuai nalar. Allah yang tidak sesuai nalar adalah bukan Allah. Padahal, bagaimana mungkin akal yang berkemampuan terbatas dipakai untuk memahami Allah yang tidak-berbatas?. Bukankah hasilnya kemudian adalah bentuk klaim persepsional ?

Allah yang Mahabesar kemudian menjadi Allah yang dipersepsikan sesuai kebutuhan pribadi. Apalagi bila persepsi dilahirkan hanya melalui perdebatan yang bersifat emosional yang semakin menjauhan esensi. Banyak pengalaman membuktikan bahwa kehadiran Allah sungguh dialami dalam keiklasan menziarahi perjalan di bumi ini. Memikul salib. Memikul tanggung-jawab. Beberapa kasus bahkan harus memikul tugas besar di luar pemahamannya. Di luar nalarnya. Di luar akalnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun