Mohon tunggu...
Adrian Diarto
Adrian Diarto Mohon Tunggu... Petani - orang kebanyakan

orang biasa. sangat bahagia menjadi bagian dari lansekap merbabu-merapi, dan tinggal di sebuah perdikan yang subur.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kalau Belum Mudik, Mudiklah!

5 Juli 2016   05:47 Diperbarui: 5 Juli 2016   16:58 348
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lebaran tahun ini hanya kusiapkan bunga tabur untuk mereka yang akan selalu mengasihiku. Ayahku sudah meninggal sepuluh tahun yang lalu dalam peristiwa kecelakaan di daerah Turi, Yogyakarta. Sementara ibuku sudah meninggal beberapa tahun sebelumnya. Kakek-nenekku yang kepada mereka aku berutang kehidupan juga sudah lebih dahulu mendahului. Meskipun saat ini sudah berkeluarga dan memiliki dua orang anak yang hebat, tetapi berkat ini tidak menggantikan keberadaan mereka. Seperti oase, begitulah mereka. Tempat yang paling hebat untuk bertambat setelah perjalanan panjang dan melelahkan. Tempat terhebat untuk meletakkan hati dan diri. Tempat untuk kembali memulihkan kesadaran dan rasa syukur, betapa kita adalah selalu berharga.

Permata yang Berkelana
Lebaran ini adalah tahun ke-10 merayakan lebaran tidak di Jakarta. Setahun di Medan, dan sembilan tahun lainnya di Yogyakarta. Setelah sebelumnya tinggal dan bekerja di Jakarta. Tinggal di Yogyakarta mau tidak mau banyak berkomunikasi dengan lebih banyak orang-tua daripada di Jakarta. Ini hal yang wajar mengingat orang muda dari kota-kota yang lebih kecil seperti Yogyakarta banyak yang pergi untuk bekerja di kota-kota besar yang banyak memiliki lapangan kerja di sektor industri dan jasa.

Bergaul dengan para orang-tua yang yang anaknya sudah pergi merantau adalah sebuah pengalaman tersendiri. Mereka biasanya tinggal berdua di kampung, atau ditemani oleh anaknya yang tidak pergi merantau. Atau sebagian sudah tidak ditemani pasangannya karena sudah lebih dahulu meninggal.

Para orang tua itu seperti memiliki beribu cerita baru yang perlu segera disampaikan tentang anaknya yang pergi merantau. Bercerita tentang anaknya adalah sebuah energi tersendiri. Badan dan jiwanya seperti teraliri kekuatan baru. Mata mereka yang berbinar adalah refleksi dari dunia yang selalu dirindukan. Dan dunia itu adalah anak-anaknya.

Setiap Hari Adalah Sebuah Penantian
Cerita tentang seorang ayah yang membawa telepon genggamnya ke tukang servis karena tidak pernah ‘berbunyi’ adalah sebuah kenyataan dan ketidakberdayaan. Dering panggilan dari anaknya yang berada di perantauan adalah sebuah lonceng merdu yang menggugah jiwanya.

Sebagian orang tua yang sudah cukup baik dalam berkomunikasi dengan anak-anaknya biasanya juga berinisiatif melakukan panggilan untuk memecah keheningan dan mengusir kesepian. Tetapi sebagian lainnya menunggu karena tidak ingin mengganggu anak-anaknya. Mereka membiarkan dirinya menanti dan menyemai harapan bahwa lusa akan didengarkan suara  merdu anaknya yang sangat dirindukan. Mereka menanti dalam diam. Mereka menanti ditemani keheningan sawah dan kebun. Mereka menanti bersama sepi dinding-dinding kamar tidurnya. Mereka menanti rumahnya kembali berantakan oleh mainan. Mereka menanti rumahnya kembali pecah oleh teriakan dan riuh tawa. Mereka menanti dengan hening supaya kepulangan anaknya terdengar oleh telinganya yang menua pada kesempatan pertama.

Kalaupun sudah mendapat kabar akan kepulangan buah-hatinya, ia akan bercerita kepada setiap orang yang disuanya. Ia ingin bercerita kepada setiap kerabatnya bahwa buah hatinya akan kembali dipeluknya dalam kerinduan yang tidak pernah mampu terceritakan dalam jumlah kata mereka yang selalu terbatas.

Kalaupun belum ada kabar, ia selalu mengatakan kepada dirinya betapa buah hatinya sedang sibuk. Betapa buah hatinya sedang repot. Betapa buah hatinya sedang memiliki banyak hal untuk diselesaikan. Dan ia meletakkan asa pada lusa. Bahwa lusa ia akan menatap bangga buah hatinya yang tidak saja sudah mengisi hatinya, tetapi juga memenuh-sesaki jiwanya.

Peluklah Raga Ringkihnya, Rengkuhlah Hatinya
Maka kalau kamu sedang memiliki sangat banyak dalih untuk tidak mudik hari ini, mudiklah besok. Atau lusa. Karena mereka sedang menunggumu dalam diam.

Pulanglah sebentar, peluklah pundaknya yang sudah tidak seperkasa dulu ketika kamu berteriak riang memanjatnya. Pulanglah sebentar untuk menatap matanya yang dulu selalu bangga menatapmu. Pulanglah sebentar untuk menatap matanya yang dulu selalu khawatir ketika kamu nakal. Pulanglah sebentar untuk memeluk tubuhnya yang selalu bereaksi panik ketika kamu sedang tidak sehat. Mungkin ia tidak pandai bercerita tentang hatinya: betapa ia sangat bangga kepadamu!

Besok Kembangkan Lagi Layarmu. Pergilah Mengarungi Lautan!
Ia tidak membutuhkan makanan-makanan pabrikan tanpa tanggal kadaluwarsa yang berkardus-kardus kamu bawa. Ia tidak peduli kendaraan yang kamu naiki. Bahkan ia pasti juga tidak peduli warna pakaian apa yang kamu pakai. Karena baginya kamu bukan hanya manusia fisik, kamu adalah manusia rohaninya!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun