“Tenan tah, pak?”(8) tanyaku memastikan. Ia tidak menjawab, namun langsung memutar becaknya dengan lincah kemudian berbelok kekanan setibanya di perempatan melewati jalan yang bernama jalan Cak Durasim. Setelah lurus sejenak kami pun bertemu dengan sebuah perempatan lagi, dari sana kami masih lurus terus hingga akhirnya kamu menjumpai sebuah warung sederhana berwarna putih. Sebuah papan tripleks putih bertuliskan RUJAK BU BOKIN yang menempel diatas pintu depan membuat kami yakin bahwa kami tidak nyasar.
Beruntungnya aku, saat itu warung dalam kondisi tidak terlalu ramai. Hanya terdapat tiga orang pembeli sebelum aku. Seorang ibu paruh baya yang kupikir adalah bu Bokin-sang pemilik sekaligus Chef-tampak sedang mengulek sebuah adonan berwarna coklat gelap. Gerakan menguleknya terlihat mantap dan metodis, menunjukan beliau sangat senior dalam dunia ulek-mengulek bumbu rujak cingur.
Semerbak petis langsung menyambar hidungku dengan bengis. Hmmmm…..aku merasa bahwa warung PKPN sudah mendapatkan pengganti yang sepadan. Aku duduk disalah satu sudut warung yang berukuran sekitar 30 meter persegi itu, tidak sabar menanti giliranku tiba.
Dan akhirnya tibalah giliranku. Dengan sigap si ibu bertanya kepadaku sambil menyiapkan bumbu-bumbu di pinggir cobek batu, “rujak, mas?”
“Rujak cingur setunggal, bu. Rawite gangsal!”(9) jawabku mantap sembari menoleh kepada tukang becak budiman yang telah mengantarku kemari, “Pak, sampeyan mangan sisan, yo”(10)
Si tukang becak tersenyum malu-malu tapi jelas terlihat kalau dia mau, “Bu, kulo rujake matengan mawon. Lomboke sadasa,”(11) ujarnya kalem pada Ibu Bokin.
What!? Cabenya sepuluh!? Batinku terjengit.
Bukan rahasia lagi bila orang Jawa Timur gemar dengan masakan pedas, termasuk diriku. Tapi seporsi rujak cingur dengan cabe rawit sepuluh?? Terlalu hardcore untukku. Aku sedikit bergidik membayangkan rasa pedas dari rujak yang disetrum cabe rawit sepuluh biji itu.
Dengan sigap bu Bokin mengulek cabe, garam dan sepotong kecil pisang batu muda. Setelah lumat dimasukan adonan pasta kacang tanah disertai petis udang yang baunya menggelitik hidung ditambah sedikit air. Ketika semuanya telah berpadu menjadi sebuah cairan cokelat pekat si ibu memasukkan irisan tahu, tempe, bengkuang, kedondong dan mangga muda. Selanjutnya diikuti dengan tauge, kangkung dan potongan cingur. Seluruh bahan itu diaduk agar bumbunya merata lalu dengan cekatan si ibu memasukan rujak tersebut kedalam piring untuk menyajikannya kedepanku yang sudah bolak-balik menelan ludah.
Sesaat kemudian si ibu membuat bumbu rujak lagi untuk si bapak tukang becak. Saat mencampurkan bahan, kulihat si ibu tidak memasukkan bengkuang, kedondong dan mangga muda karena si bapak tadi telah berpesan bahwa rujaknya “matengan”. Ini adalah kode bahwa dia tidak mau ada campuran buah-buahan dalam rujaknya.
Tidak sabar aku masukkan suapan pertama kemulutku.