Anak-anak memang berhak mendapatkan perhatian dan kasih sayang orang tuanya. Pun orang tua memiliki kewajiban untuk memenuhi kebutuhan dan memastikan bahwa anak-anaknya mendapatkan hal yang terbaik yang orang tua mampu lakukan.
Namun jangan sampai mereka lupa bahwa mereka memiliki kewajiban untuk menghormati dan mendoakan ayah ibunya yang telah merawat mereka sejak dalam kandungan dulu. Jangan sampai mereka menyalahgunakan hak mereka sehingga berani berlaku seenaknya. Memang tidak semua generasi zaman sekarang (dijuluki dengan generasi stroberi) yang memiliki tabiat buruk dalam hal bersikap kepada orang tuanya. Akan tetapi, tidak sedikit anak-anak yang menjadikan orang tua sebagai pesuruh yang bisa memenuhi semua keperluan yang mereka inginkan. Anak-anak semacam itu merengek, meminta apa saja, tetapi setelah kebutuhannya dipenuhi mereka lupa mengucapkan terima kasih. Bahkan lupa bahwa mereka memiliki kewajiban untuk patuh dan memiliki keharusan belajar menyelesaikan tugasnya sendiri.Â
Sebagai contoh kasus, seorang anak SMP merengek minta dibelikan HP baru karena miliknya sudah rusak. Setiap hari terus meminta dengan cara mendesak orang tuanya agar segera membelikan yang baru. Alasannya adalah gabut dan tidak ada kegiatan. "Dunia tidak seru kalau tidak ada HP," katanya.
Dengan susah payah, sang ayah mencari tambahan uang ke sana kemari hingga akhirnya ponsel sang anak bisa diperbaiki dengan cara diservice di kedai penjual HP. Rupanya baterai HP sudah rusak karena terlalu sering digunakan dalam waktu lama.
Sang ayah memberikan HP yang sudah pulih dan bisa digunakan kembali. Anak itu pun begitu gembira. Lantas tanpa mempedulikan ayahnya yang kelelahan sepulang kerja, ia langsung berlari ke kamarnya. Rupanya ia sudah rindu dengan sang pacar karena tidak berkomunikasi berhari-hari. Ayahnya hanya bisa mengelus dada. Mengumpulkan kesabaran, menahan rasa marah. Kepalanya berpikir keras, memikirkan cara terbaik, bagaimana memberi tahu agar anak semata wayangnya bisa mengerti bahwa kini sudah seharusnya ia belajar dewasa.
Akhirnya, kalimat pamungkas pun keluar dengan suara bergetar, "kalau sudah bisa pacaran, tolong imbangi dengan kedewasaan. Ayah selalu menuruti apa yang kamu mau. Namun tolong, biasakan diri untuk mengurus diri sendiri. HP rusak saja merengeknya setengah mati, tapi giliran bangun tidur susah sekali, kamar dibiarkan berantakan, mandi juga masih harus diingatkan. Mau jadi apa kamu?" ucapnya.
Sementara anaknya masih anteng dengan HP yang baru selesai "opname". Asyik berinteraksi dengan pacar dan teman dunia mayanya. Mengunggah hal-hal yang menurutnya harus diumumkan ke khalayak ramai, di sisi lain ayahnya termenung menyesali keadaan.
Kasus kedua. Seorang anak lelaki usia 13 tahun yang asik main game online dengan temannya merasa kehausan. Enggan meninggalkan permainan,, si jagoan meminta ibunya mengambilkan minum, padahal tempat minum hanya beberapa langkah dari tempatnya duduk. Ibunya protes, "kenapa tidak ambil sendiri saja?" Anak itu menjawab, "kalau aku sampai kalah ibu memangnya mau tanggung jawab?" Ibunya pun akhirnya mengambilkan air dengan mata berkaca-kaca.
Pemandangan kedua kasus itu saya temukan sendiri ketika berkunjung ke rumah saudara dan seorang teman. Apa yang saya saksikan menimbulkan rasa nyeri tersendiri di dalam ulu hati walaupun itu tidak dialami langsung oleh saya sendiri. Kemudian saya berpikir, barangkali di luar sana masih banyak sekali kasus serupa yang tidak tertangkap netra. Begitu menakutkan. Diam-diam saya berdoa semoga ini tidak sampai "mewabah".
Harus seperti apa menyelesaikan masalah mental sang generasi stroberi?
Media sosial memberikan dampak yang signifikan dalam perkembangan moralitas anak-anak dan remaja zaman sekarang. Tontonan dan tayangan yang mereka simak membuat mereka cenderung lebih mementingkan kehidupan di dunia maya dibandingkan dengan fokus pada kehidupan nyata. Akhirnya banyak anak yang melewatkan pembelajaran yang mendukung  tumbuh kembang mereka..
Anak-anak remaja putri lebih mementingkan pacaran daripada belajar untuk mengurus dirinya sendiri. Mereka lebih mendahulukan belajar teknik berdandan dan memantaskan diri serta menyusun berbagai rencana nongkrong untuk makan di cafe sana-sini bersama geng tongkrongan daripada belajar bagaimana caranya memasak makanan saat dia lapar, caranya mencuci bajunya sendiri saat seragam sekolahnya sudah harus dicuci, atau caranya menyetrika pakaian agar pakaiannya tetap rapi saat pergi ke sekolah. Bahkan membantu ibunya yang sibuk di rumah membereskan sisa-sisa piring kotor bekas dirinya makan pun tidak dihiraukannya.
Mereka tumbuh dengan didikan media sosial. Hanya tahu bagaimana caranya cantik saat bertemu teman tongkrongan. Padahal kamar masih sangat berantakan saat ditinggalkan. Selimut belum dilipat, baju bekas pakai tersimpan sembarangan, bekas cemilan berserakan.
Lalu, bagaimana jika kelak mereka menjadi sosok orang tua bagi anak-anak mereka?
Sementara itu, anak remaja lelaki sibuk dengan main games online. Adu pencapaian dan memasang target-target untuk mengalahkan lawan mainnya. Mereka lupa untuk belajar bagaimana caranya melakukan hal-hal yang dilakukan oleh lelaki. Tidak memiliki waktu untuk belajar bagaimana caranya bersikap sebagai lelaki yang bertanggung jawab atas hidupnya. Bahkan ketika ayahnya sibuk mencuci motor sang jagoan malah ongkang-ongkang kaki sambil main game online.
Tanpa mereka sadari hal-hal seperti itulah yang justru akan menjadi bekal ketika hidup dewasa nanti berkeluarga dan benar-benar terpisah dari orang tuanya.
Mampukah mereka membawa diri dengan mental yang sebegitu lunaknya?
Sementara itu orang tuanya bukan tidak mengajarkan. Bukan pula tidak mengingatkan. Nasihat dan teguran tetap disampaikan dengan berbagai cara. Namun ketergantungan mereka kepada media sosial dan kehidupan dunia maya membuat mereka terlampau santai dan enggan untuk mematuhi peraturan.
Padahal sejatinya secara hukum agama Islam, kewajiban untuk mematuhi orang tua adalah sebuah hal yang paling prinsip. Birrul walidain (berbuat baik kepada orang tua) sendiri menempati urutan yang utama setelah menegakkan tauhid atas Allah Subhanahu Wa Ta'ala.
Berbakti kepada orang tua jauh lebih penting dibandingkan dengan jihad di medan perang. Berbuat baik kepada orang tua merupakan kewajiban setiap muslim, merupakan amalan yang paling mulia karena menjadi salah satu sebab seseorang masuk surga dan sebab mendapatkan keridhaan Allah. Adalah sebuah dosa besar jika seseorang mendurhakai dan mangkir dari perintah orang tuanya.
Maka dari itu, tugas orang tua kini semakin berat. Karena saingan dan tantangan terbesar yang ada bukan lagi hanya tentang ego dan sifat dasar anak-anak yang susah diatur. Melainkan sesuatu yang sangat sukar dikendalikan yang berasal dari benda pipih yang selalu ada di tangan anak-anak itu sendiri.
Lantas kalau sudah begitu, siapakah yang salah? Kemajuan teknologi kah? Atau pola asuh yang harus dikeraskan dan diperketat? Sanggupkah generasi stroberi yang lembek itu bertahan dalam situasi yang serba dibatasi?
Apakah tepat jika sama sekali anak-anak tidak menggunakan HP seperti zaman orang tuanya kecil dulu? Adakah yang memiliki metode yang benar-benar efektif untuk membengkel perilaku mereka?
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H