Pagi-pagi di hari libur adalah saatnya jajan karena malas untuk membuat sarapan. Seperti tadi pagi saya menyengaja jalan kaki ke depan komplek pemukiman untuk membeli kue serabi, jajanan pasar yang diminati dan pas untuk dijadikan pengganjal perut pagi hari.
Dari kejauhan, nampak penjual serabi dikerumuni oleh banyak pembeli. Dengan langkah ragu karena khawatir kehabisan, saya mendekati penjual.
"Kenapa siang banget ke sininya?" tanya ibu penjual yang memang sudah akrab.
"Kalau libur memang sarapannya santai, Bu," jawab saya. Memang sesekali saya pun membelinya lebih pagi lagi untuk sarapan di hari kerja. Serabinya memang lezat, tidak heran jika hari ini ibu penjual dikerumuni pembeli.
"Beli berapa, Teh?" tanya ibu penjual.
"Enam saja, Bu," jawab saya sambil senyum. Ibu penjual masih sempat membalas senyuman sambil terus melayani dua orang lagi pembeli yang sudah antre lebih dulu.
Ibu Rudi (nama panggilan samara), satu orang di antara pembeli yang saya kenal nampak memborong kue serabi dengan jumlah yang banyak. "Mau dibawa jenguk orang sakit," katanya menjelaskan. Dia dan pembeli lain sudah selesai . Giliran saya sekarang. Ibu penjual menuangkan adonan ke cetakan yang terpanggang di atas bara api dari arang batok kelapa. Tercium aroma khas yang membuat kue serabi ini tidak tergantikan. Sangat berbeda dengan yang dibuat menggunakan kompor gas.
Empat surabi sudah matang, ibu penjual meletakkannya di dalam sebuah wadah tampung yang berbentuk ayakan terbuat dari bambu yang dianyam. Tiba-tiba seorang pria datang, dengan santai tangannya mengambil surabi yang baru saja matang lalu dimakannya saat itu juga.
"Jangan diambil, itu milik tetehnya," kata ibu penjual sambil melirikkan matanya ke arah saya.
Alih-alih menggubris perkataan ibu penjual, lelaki itu malah memasukkan sisa surabi ke kantong plastik yang diambilnya sendiri.