Mohon tunggu...
Diantika IE
Diantika IE Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Penulis, Blogger, Guru, Alumnus Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Menulis di Blog Pribadi https://ruangpena.id/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Terusir Dari Rumah Sendiri

21 Desember 2023   12:42 Diperbarui: 21 Desember 2023   13:20 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Kau bahkan tidak akan tahu bagaimana rasanya terusir dari rumah sendiri," kata Lilan. 

Wajah cantiknya yang biasa cerah ceria, kini redup bak mendung dengan awan yang gelap. 

Lilan yang kukenal sebagai perempuan pekerja keras dan pantang meyerah kini sedang ditimpa ujian berat. Aku malah bertekad untuk menemani dan menyemangatinya walau hanya sekadar mendengarkan keluh kesah atau membiarkannya tinggal beberapa hari di rumahku. 

Aku dan Lilan bersahabat sejak kecil. Aku tahu betul, bagaimana usaha yang dia lakukan untuk menghidupi seluruh keluarganya. 

Lilan adalah anak satu-satunya yang kemudian harus menjadi kakak perempuan paling besar setelah ibunya meninggal. Ya, ayah Lilan menikah lagi dengan perempuan yang memiliki dua anak. Kemudian ibu tirinya melahirkan adiknya yang kalau menurut Lilan, untung saja adik sebapaknya itu lucu dan menggemaskan. Jika tidak, maka ia tidak akan pernah menemukan alasan untuk tetap tinggal di rumah warisan sang ayah. 

Dua tahun lalu, sebelum ayah Lilan meninggal karena kecelakaan, kehidupan Lilan masih tergolong normal. Ia masih memiliki kehidupan sosial yang sama denhan aku. Bekerja di siang hari, lalu mengikuti kuliah kelas karyawan pada malam hari. 

Namun semenjak ayahnya meninggal, Lilan menjadi sering menghilang. Bolos dari kelas bahkan sering terlambat mengumpulkan tugas. 

"Aku harus nyari tambahan penghasilan, untuk membayar uang kuliah," keluh Lilan waktu itu. 

"Kenapa kau masih harus kerja? Bukankah dari tempatmu yang sekarang sudah cukup?" tanyaku kebingungan. Kasihan, jika sahabatku itu masih harus memeras keringat bahkan di waktu yang seharusnya digunakan untuk istirahat. 

"Semua uang hasil kerjaku diambil ibu untuk keperluan hidup, sekolah dan makan adik-adikku," jawab Lilan dengan mata berkaca-kaca. 

Kali itu aku sudah tidak bisa berkomentar apapun. Aku tidak dapat memberikan bantuan apapun kecuali menyemangatinya agar tidak sampai menyerah. Sesekali aku mengajaknya makan malam di rumahku. Walau rumahku kecil tetapi di sinilah Lilan bisa tertawa lepas. Saat kami masak bersama, mengiris sayuran dan menggoreng ikan. 

"Aku selalu rindu berada di dapur, seperti yang selalu kulakukan dulu bersama ibu,"kata Lilan. "Kalau aku gak punya sahabat baik sepertimu, mungkin aku sudah lupa bahwa aku ini perempuan," sambungnya sambil tertawa. 

Aku senang melihat Lilan tertawa. Namun ternyata hari ini meskipun Lilan sudah tinggal bersama aku dan Emak, Lilan malah semakin murung. 

"Sudahlah, kamu kan bisa tinggal fi rumahku sampai kapanpun. Emakku tidak keberatan. Malah senang di rumah jadi ada tiga orang. 

Kalau Ibu Lilan meninggal, ini abahku yang pergi lebih dulu. Mungkin aku sedikit beruntung. Karena emak tidak menikah lahi seperti yang dilakukan bapaknya Lilan. Meskipun kami hidup seadanya, tetapi masih bisa merasakan ketenangan hidup berdua dengan Emak. 

"Iya, Neng Lilan, Emak senang kalau eneng tinggal di sini. Anggap saja ini rumah sendiri," ujar Emak menimpali. 

"Bukan soal tinggal, Mak. Aku bahkan sangat berterima kasih kepada Emak dan Mely karena terlah berbaik hati mengizinkan aku tinggal di sini. Malahan sebelum aku benar-benar diusir dari rumah," ujar Lilan. 

Tangannya sibuk menyeka ari mata. 

"Tapi kali ini aku benar-benar tidak tahan. Rumah peninggalan ibu dan bapakku sendiri, yang kurawat dengan susah payah. Beberapa kali renovasi dengan menggunakan tabungan demi agar rumah itu tetap berdiri kokoh. Namun apa yang ku dapat? Setelah rumah menjadi lebih nyaman, ibu dan adik-adik tiriku mengusirku dengan semena-mena." 

Bahu Lilan berguncang, tangisnya semakin menjadi. 

"Menangis lah, Lan. Andai air mata itu bisa membuatmu jauh lebih tenang. Aku hanya bisa mendoakan, semua yang terbaik untuk kamu. Sabar ya....!" ucapku lirih. Kubiarkan kepala Lilan bersandar di pundak ku, pundak sahabatnya yang selalu ingin membantu tetapi tidak bisa berbuat lebih. 

Kadang aku sendiri kerap mengutuk diri sendiri. Kenapa tidak bisa melakukan apapun yang lebih bisa bermanfaat bagi kehidupan Lilan. Kalau saja boleh, ingin sekali mencaci maki ibu dan adik-adik Lilan yang begitu tega mengusir orang yang justru telah menanggung seluruh beban kehidupan mereka.

Menjengkelkan! gerutuku dalam hati. 

"Aku yang membiayai mereka sekolah dengan hasil jerih payahku, aku yang memberikan uang untuk makan dan gaya hidup mereka, bahkan aku tidak pernah merasakan bagaimana rasanya memiliki gaji lebih tinggi setelah aku naik jabatan, Mel!" ucap Lilan dengan kembali menangis terisak. 

"Aku paham, tapi memangnya siapa yang akan bertanggung jawab atas kehidupan mereka setelah kau pergi, Lilan? Kita tinggal melihat mereka kelimpungan dan hancur bukan? Adik-adikmu yang selalu dimanjakan dengan kemudahan selama ini, apakah bisa bekerja sepertimu untuk menghasilkan uang?" aku mengatakan yang sebenarnya. Memang semuanya adalah manusia manja yang hanya ingin menikmati hasil tanpa mau susah payah mengeluarkan tenaga. 

Lilan menyeka air matanya. Lalu menatapku dalam-dalam. 

"Kamu betul, Mel. Aku memang kehilangan rumah peninggalan ayah dan ibuku. Namun ini jauh lebih baik daripada aku harus kehilangan harga diri, menjadi budak mereka. Biarlah aku pergi dengan rasa sakit, daripada harus sakit seumur hidup," Lilan mengucapkannya dengan suara yang penuh dengan penekanan. Ada secercah keyakinan di sana. 

"Teruskan perjuanganmu, bekerja, kuliah, dan buktikan pada mereka, kalau walaupun kau terusir dari rumah sendiri, kau tidak akan pernah kehilangan arah. Karena kau justru yang membuat kehidupan ini bergerak, Lilan. Kau adalah pemilik kendali sesungguhnya!" Aku tidak berhenti menyemangati. 

Hari berganti, senyum Lilan semakin terpancar. Aku dan Emak ikut senang karena "saudara " perempuanku telah kembali pulih dan mulai berjuang lagi. 

Aku dan Emak selalu berdoa, semoga Lilan mendapatkan kembali apa yang selama ini dibangunnya susah payah. Kalaupun tidak, semoga kelak dia memiliki penggantinya yang jauh lebih berharga dari yang sebelumnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun