Jangan Jadi Penyebab Seseorang Tidak Bersyukur
Kekinian mudah sekali mengakses informasi. Canggihnya teknologi membuat kita bisa mengakses apa saja untuk mendapatkan informasi. Tidak terkecuali mendapatkan informasi soal seseorang yang kadang kenal pun tidak. Bertemu pun tidak pernah. Namun karena kadung lewat di beranda jadinya djkepoin juga.Â
Jika yang kita kepoin adalah seorang idola, maka tidak mengapa kita menjadi tahu urusan hidup orang lain, toh siapa suruh juga mereka mempublikasikannya?Â
Namun kalau sudah merambah pada keberanian ikut campur, mengomentari dengan komentar buruk maka tidakkah perbuatan itu sia-sia dan dosa?Â
Mereka yang memang memilih hidup sebagai publik figur, oke lah. Tentu mereka sudah siap dengan pilihannya. Komentar pedas dari netizen hanya akan dianggap kerikil kecil yang tidak penting oleh mereka. Walaupun ya..., jika dihujat terus-menerus oleh orang se-Indonesia mereka kena mental juga. Kasihan.Â
Akan tetapi, bagaimana jika komentar itu kita sampaikan kepada saudara atau teman dekat kita sendiri? Karena yang namanya menahan jempol untuk mengetik pesan di medsos itu cukup susah ternyata. Apalagi menahan lisan, tentu sama susahnya. Kadang selalu terlintas keinginan untuk mengomentari, toh dia teman dan saudara sendiri. Gak apa-apa lah ya, kasih komentar sedikit saja?
Kadang pula, sok ngasih saran terbaik. Secara langsung dengan alasan, "itu kan teman dan saudara dekat kita, gak apa-apa lah ya, pasti gak apa-apa."
But, tunggu dulu sebentar! Pernah gak berpikir lalau apa yang kita katakan dan kita anggap benar itu akan memberikan pengaruh yang negatif kepada mereka?Â
Apa saja pengaruhnya?Â
1. Yang kamu komentari hidupnya menjadi tidak bersyukur.Â
Sedikit banyak, perasaan itu pasti muncul di benak mereka. Sudah tenang-tenang dalam hidupnya. Bersyukur sama apa yang dijalani, didapatkan, dimiliki dalam keluarga, karir dan hidupnya. Eh, ketika dikomentari malah menjadi kepikiran. Melihat diri terlalu dalam. Lalu menyimpulkan, "Iya ya, kok hidup aku berbeda", "Iya ya, kok keluarga aku begini", "Iya ya, kok apa yang aku jalani tidak semudah yang dijalani orang lain?" dan lain sebagainya.Â
Jadi, kalau ada yang suka menggunjing seseorang karena banyak mengeluh dan menganggap ia tidak pandai bersyukur atas hidupnya, jangan-jangan mulut kamu lah penyebabnya.
2. Yang dikomentari hidupnya menjadi rendah diri.
Perkataan itu ibarat cabe rawit. Jika dimakan, pedas atau tidaknya tergantung pada kesanggupan seseorang pada level kepedasan. Ada yang makan sambel dengan dua cabe rawit sudah begitu kerepotan. Namun ada juga yang makan sepuluh masih santai saja.Â
Perkataan pun sama saja. Ada yang tahan dengan perkataan pedas, ada pula yang gampang tersinggung, gampang sedih dan menangis. Akhirnya timbul keinginan menarik diri dari lingkungan. Minder, merasa rendah diri. Karakternya terbunuh oleh komentar-komentarmu.Â
Lalu, "ah, dia nya aja baperan. Gitu aja tersinggung!"
Hai, jangan terlalu mudah mengatakan hal itu. Latar belakang orang yang satu dengan yang lainnya tidak pernah sama bukan? Kamu yang terlatih makan pedas sejak kecil tentu akan memiliki lambung dan lidah yang kuat. Namun bagi mereka yang memang gak bisa makan pedas, apa jadinya? Makan cabe dua saja, lidah terasa panas. Perut pun mules, sakit melilit. So, jangan terlalu gampang mengomentari.Â
Pertama karena kehidupan orang lain tidak bisa diukur dengan kehidupan kita. Kedua, ketika komentar yang kamu sampaikan itu ternyata menyakitkan, kamu hanya akan menjadi bagian pemicu ketidakbersyukuran seseorang pada apa yang telah Allah berikan kepadanya.Â
Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H