Lebaran tahun lalu, beruntung, masih ada kolega yang berkunjung. Berbasa-basi bertanya kabar dan menagih utang-utang Munah. Meski begitu, Munah merasa bahwa ia masih dianggap manusia. Dikunjungi dan diajak komunikasi.
Namun lebaran kali ini, Munah benar-benar sendiri lagi. Hartanya sudah habis, kecuali sedikit uang yang disisakan sebagai tabungan bekal hidupnya. Bekal untuk Suminem lebih tepatnya. Hanya Suminem yang menemani dengan setia setiap hari.
"Minem," panggil Munah dengan datar.
Suminem beranjak dengan segera. Memenuhi panggilan majikannya.
"Iya, Nya." Suminem bersyukur Munah mau berbicara.
"Aku ingin hari ini segera berakhir," ucapnya.
"Kenapa, Nyonya bilang begitu?" Suminem terheran mendengarkan ucapan majikannya.
"Cukup opor dan ketupatmu yang terakhir kumakan hari ini. Sebagai tanda terima kasih karena kau sudah menemaniku selama belasan tahun. Aku tidak berguna, dan telah kehilangan semua. Malam ini biarkan aku tidur panjang, jangan coba membangunkanku. Aku tidak ingin lagi bertemu lebaran. Orang lain dikasihi, dikunjungi, sementara aku hanya seonggok daging hidup yang hanya engkau yang peduli. Yang lainnya, tidak lagi," ucap Munah. Air matanya deras mengalir di pipinya yang tampak tirus.
Suminem berlutut dan memohon, "jangan berkata begitu, Nyonya. Minem akan terus menemani Nyonya sampai sembuh."
"Sudahlah tidak perlu bersedih, aku akan baik-baik saja. Pergilah ke dapur, dan bereskan makanmu."
"Baik, Nya."