Mohon tunggu...
Diantika IE
Diantika IE Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Penulis, Blogger, Guru, Alumnus Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Menulis di Blog Pribadi https://ruangpena.id/

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Hari Pendidikan Memanggil Kembali Kenangan

2 Mei 2021   12:08 Diperbarui: 4 Mei 2021   10:26 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Ada yang ngobat lagi!" Bahrun teman kerjaku menghempaskan diri di kursi ruang tamu kantor guru. Wajahnya begitu lusuh, kekesalan dan penyesalan bermuara di sana. Matanya memejam, ia berkali-kali menghela napas panjang mencoba menenangkan diri.

Berbagai reaksi diberikan oleh guru lain. Ada yang mengomel, mengucapkan sumpah serapah, ada juga yang memilih tak acuh pura-pura melanjutkan pekerjaan di meja kerja masing-masing. Sebagian lagi berlalu ke luar ruangan membawa perangkat pembelajaran. Menuju kelas berikitnya karena bel pergantian jam pelajaran baru saja dibunyikan oleh guru piket.

"Masih anak itu?" tanyaku.

Bahrul mengangguk.

"Bukan hanya dia, ada dua lagi yang justru lebih parah dari anak yang biasa."

Suara Bahrul datar penuh sesal.

"Siapa?"

Sesaat kemudian Bahrul mendekat dan merendahkan suaranya. Menjelaskan detail kejadian yang dia temukan sampai akhirnya mendapatkan bukti danmenemukan pelakunya.

Aku dan Bahrul seperti ditakdirkan untuk terus menerus menangani kasus kenakalan siswa. Bahrul yang mendapatkan jabatan sebagai Wakasek Kesiswaan dan aku berada di bawahnya. Aku mendapatkan tugas untuk membina kegiatan OSIS dan ekstra kulikuler.

Sudah tiga tahun terakhir kami bersama menangani kasus-kasus yang terjadi. Tidak jarang kami harus bekerja keras untuk mengejar ketertinggalan penyampaian materi karena ada waktu tertentu yang tersita untuk menyelesaikan kasus-kasus yang terjadi di luar tugas utama kami sebagai pengajar mata pelajaran.

Semua itu berawal ketika Bu Maryati diangkat jadi PNS dan harus meninggalkan sekolah kami ke sekolah barunya.

"Bu Maryati pindah tugas. Sampai mendapatkan lagi guru BP yang ijazahnya linier, saya titipkan sementara penanganan kasus siswa ke wali kelas dan kesiswaan juga pembina OSIS," ujar kepala sekolah di acara rapat awal tahun ajaran.

Kami memang bukan lulusan BP/BK, pun bukan pula konselor yang mampu sepenuhnya meluruskan dan menyadarkan para korban atau pelaku penyimpangan sikap agar mereka kembali ke arah yang benar. Namun berbekal kepedulian yang kami punya, kami tidak pernah sekalipun melewatkan kasus sekecil apapun. Semua kami jalani, dengan kesungguhan. Meskipun jujur, kadang kami merasa begitu lelah mengemban tugas tersebut.

"Aku punya bukti. Ada anak yang aku jadikan informan. Ia tahu banyak tentang sumber obat itu. Tapi aku minta tolong, jangan sampai identitas anak ini diketahui yang lain," bisik Bahrul.

Aku mengangguk patuh.

Bel pulang berbunyi. Semua siswa berhamburan dari kelas masing-masing setelah terlebih dahulu membaca doa dan salam kepada guru pengajar terakhir.

Kecuali tiga orang siswa yang dipanggil sejak masuk jam terakhir. Ketiganya duduk berjongkok di lantai ruang BP/BK.

"Anjas kelas 3B, Gun Gun 3C dan Faisal 3F," Bahrul mengabsen anak yang terjerat kasus obat.

Ketiganya diam.

"Mereka masih di bawah pengaruh," bisik Bahrul.

"Apa kita panggil saja orang tuanya?"

"Sudah kupanggil via telepon tadi. Yang dua mau datang, tetapi yang justru biang keroknya, orang tuanya tidak akan ke sini," Bahrul mendengus kesal.

"Alasannya?"

"Ia pejabat, tidak bisa hadir karena sibuk. Malah mengutus pegawainya untuk memenuhi panggilan kita," jawab Bahrul.

"Anjas! Dari mana kamu mendapatkan obat ini hah?" Bahlul menunjukan obat berjenis ekstasi beberapa butir.

Anjas terdiam, lantas membuang muka, memilih untuk tidak menjawab. Sikapnya begitu menyulut amarahku. Tidak seharusnya seorang siswa bersikap demikian ketika ditanya.

Kemudian Bahrul melontarkan pertanyaan yang sama kepada Gun Gun dan Faisal. Jawaban mereka kompak, bahwa Anjas lah yang membagi obat terlarang itu.

"Kalian dipastikan akan dikeluarkan dari sekoalh ini!" ucap Bahrul. "Kasus berulang ini, tidak bisa diterima. Faisal dan Gungun sebelumnya kalian pernah memiliki catatan buruk, mengisap ganja dan 'pil anjing' yang ditemukan di dalam tas mu tahun lalu. Mau jadi apa kalian ini, hah?" Bahrul mulai naik pitam.

Mendengar pernyataan bahwa mereka akan dikeluarkan, Keduanya mulai merasa menyesal. Memohon untuk tidak sampai dikeluarkan dan berjanji kana berubah.

Sementara Anjas, wajahnya tetap datar. Anak pindahan dari sekolah negeri ini tatapannya begitu dingin. Ia bergeming, mulutnya tetap terkunci rapat ketika bekali-kali Bahrul memintanya berterus terang.

"Kapan orang tua mereka datang?" tanyaku.

"Pukul 17. Kepala sekolah kebetulan baru selesai rapat dinas sore nanti.

"Kepala sekolah tahu kasus hari ini?" Bahrul mengangguk.

Terbayang sudah kemarahan beliau tempo hari. Ketika satu kasus terlambat ditangani. Kepala sekolah marah besar. Aku sampai bergidik membayangkan apa yang akan terjadi sore nanti. Dan sore itu aku harus kembali pulang terlambat karena harus mengadapi orang tua siswa yang bersangkutan.

Kasus seperti ini bukan satu dua kali kami tangani. Bahkan hal terburuk pun pernah aku alami. Jika sepupuku tidak lekas datang, nyawaku mungkin mungkin sudah melayang.

Kisah mengerikan itu berawal dari kasus keseharian yang kutangani. Seorang siswa kelas 3 menolak ajakanku kembali ke kelas untuk kembali mengikuti pelajaran. Anak tersebut kutemukan di kantin sekolah bersama tiga rekannya. Sepuntung rokok pun terselip di jarinya.

"Ayo ke kelas!" ajakku.

"Tanggung pulang, Bu." Jawabnya, seraya mengisap rokok. Asapnya mengepul, memuakan!

Ketiga temannya sudah berdiri bersiap mengikuti ajakanku. Namun si Bos yang sedang merokok masih enggan beranjak dari duduknya.

"Saya ulangi, kalian harus ke kelas sekarang juga! Kalau tidak, ..."

Belum tuntas aku mengucapkan kalimat, sang bos perokok berdiri, dan mendorong tubuhku sampai hampir tepental.

"Kalau tidak, kenapa?" teriak Bobi penuh kesal. Bau rokok dari mulutnya membuatku mual.

Mendapatkan perlakuan demikian, aku sebagai guru merasa tidak diahargai. Aku membentak anak tersebut, yang kemduian berlalu meninggalkanku dan berjalan menuju kelas.

Seketika aku merasa menang, karena akhirnya mereka masuk juga. Namun apa yang terjadi sore hari ketika aku pulang, sungguh di luar dugaan.

Berangkat kerja aku terbiasa dengan jalan kaki. Selain karena jarak tempat tinggal cukup berdekatan, aku pun merasa senang. Sambil berolah raga, pikirku.

Pulang dari sekolah aku harus melewati gang yang diapit oleh bangunan tinggi. Gang yang cukup panjang dan membosankan karena hanya diapit tembok besar adalah jalan terdekat menuju tempat tinggal saudaraku yang kujadikan tempat tinggal sejak kuliah dulu.

Sore itu sudah mendung, aku mempercepat langkahku khawatir hujan turun. Pada awalnya tidak ada yang aneh dengan jalan yang kulalui, tapi kemudian aku merasa ada yang mengikuti dari belakang. Aku menoleh, dua orang berpakaian anak punk mengikuti langkahku dengan sorot mata yang tajam.

Usia mereka kira-kira 17 tahunan, usia SMA. Aku memepercepat langkah. Sampai di ujung gang bertembok Bobi, anak yang tadi siang mendorong tubuhku dengan kasar berdiri dengan berpangku tangan. Seorang lagi memutar-mutar sebuah gir, yang kutahu itu adalah bagian dari roda motor. Menegerikan. Aku tidak bisa membayangkan jika lempengan gir itu sampai mengenai kepalaku.

Aku menghentikan langkah mencoba tenang, walaupun sisi keperempuananku begitu takut dan gentar. Namun aku adalah seorang guru tukang menangani kasus kenakalan, namaku sudah cukup terkenal dan ditakuti oleh murid-murid di sekolah sebagai guru yang tidak bisa diajak main-main degan kenakalan.

"Bobi, apa mau kamu?" tanyaku dengan lantang. Menyembunyikan takut dan gemetar di tubuhku.

"Aku ingin memberi ibu pelajaran!" jawab anak itu tanpa rasa hormat.

Dua orang dari belakang mulai mendekat. Wahyu dan dua temannya pun mulai mendesak, memberi ancaman. Sementara gir itu terus berputar-putar seolah sebentar lagi mengenai kepalaku.

Sebuah teriakan mucul, "hentikan!"

Seketika perasaan was-was dan takut yang menguasai, lepas. Suara itu telah membuat aku merasa lega. Ya, suaranya aku kenal betul.

Sepupuku datang dengan sepeda motornya. Aku berlari berhambur ke arahnya.

"Kak, syukurlah kamu datang," ucapku dengan kaki yang terasa hampir tidak lagi kuat menopang.

"Kalian mau apa? Bubar sana!"

Bobi memberi kode kepada ketiga rekannya yang tidak satupun ku kenali wajahnya. Akan tetapi logo geng motor di baju mereka cukup memberiku informasi bahwa mereka anggota salah satu geng motor terbesar di kotaku. Ya, logo itu sangat identik.

Keesokan harinya, Bobi dikeluarkan dari sekolah. Kerena bukan hanya memiliki kasus denganku, remaja itu pun terjerat kasus penusukan saudaranya sendiri dalam tauran yang melibatkan dua geng motor. Entah bagaimana kabarnya anak itu sekarang.

Lima tahun berlalu, aku sudah tidak bekerja lagi di sekolah itu. Kini sekolah itu sudah menjadi sekolah yang hebat. Seleksi masuk calon siswa diperkatat. Pekerjaan Bahrul pun menjadi lebih ringan. Ia bisa tersenyum lega, karena tidak lelah lagi menangani kasus yang luar biasa. Sementara aku, kini sudah berada di tempat yang berbeda.

Sejak memutuskan untuk lanjut kuliah S2 aku terus menimba ilmu menjadi pelajar kembali dan terus belajar dari orang-orang yang kutemui.

Dari kisahku, aku begitu sadar, bahwa menjadi pendidik sama sekali tidaklah mudah. Terlebih kita harus terus mendidik diri sendiri sebelum mendidik orang lain. Peserta didik tidak akan mau mendengarkan apa yang kita sampaikan jika pribadi kita sendiri pun tidak mencerminkan sosok teladan bagi mereka.

Selamat Hari Pendidikan Nasional 2021. Mari terus belajar untuk menjadi pendidik yang mampu menjadi alasan mengapa anak-anak didik kita harus terus meperbaiki dirinya. Semoga bermanfaat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun