"Bu Maryati pindah tugas. Sampai mendapatkan lagi guru BP yang ijazahnya linier, saya titipkan sementara penanganan kasus siswa ke wali kelas dan kesiswaan juga pembina OSIS," ujar kepala sekolah di acara rapat awal tahun ajaran.
Kami memang bukan lulusan BP/BK, pun bukan pula konselor yang mampu sepenuhnya meluruskan dan menyadarkan para korban atau pelaku penyimpangan sikap agar mereka kembali ke arah yang benar. Namun berbekal kepedulian yang kami punya, kami tidak pernah sekalipun melewatkan kasus sekecil apapun. Semua kami jalani, dengan kesungguhan. Meskipun jujur, kadang kami merasa begitu lelah mengemban tugas tersebut.
"Aku punya bukti. Ada anak yang aku jadikan informan. Ia tahu banyak tentang sumber obat itu. Tapi aku minta tolong, jangan sampai identitas anak ini diketahui yang lain," bisik Bahrul.
Aku mengangguk patuh.
Bel pulang berbunyi. Semua siswa berhamburan dari kelas masing-masing setelah terlebih dahulu membaca doa dan salam kepada guru pengajar terakhir.
Kecuali tiga orang siswa yang dipanggil sejak masuk jam terakhir. Ketiganya duduk berjongkok di lantai ruang BP/BK.
"Anjas kelas 3B, Gun Gun 3C dan Faisal 3F," Bahrul mengabsen anak yang terjerat kasus obat.
Ketiganya diam.
"Mereka masih di bawah pengaruh," bisik Bahrul.
"Apa kita panggil saja orang tuanya?"
"Sudah kupanggil via telepon tadi. Yang dua mau datang, tetapi yang justru biang keroknya, orang tuanya tidak akan ke sini," Bahrul mendengus kesal.