Mohon tunggu...
Diantika IE
Diantika IE Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Penulis, Blogger, Guru, Alumnus Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Menulis di Blog Pribadi https://ruangpena.id/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hantu Penghuni Kampus II

27 Mei 2020   19:22 Diperbarui: 27 Mei 2020   19:18 284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sore yang muram. Langit mendung hampir memuntahkan air dalam jumlah banyak. Sepertinya akan hujan deras. Azan Magrib berkumandang. Beberapa orang mulai sibuk mempersiapkan diri menghadap sang pencipta dalam 3 rakaat salat yang menjadi kewajibannya sebagai umat muslim. 

Mbak Nina berkali-kali memanggilku. Berteriak dari jauh dengan suaranya yang keras dan cempreng. Tampak kegalauan di wajahnya. Antara menungguku, atau menyusul kedua temannya yang sudah lebih dulu meninggalkan dia menuju mushola. 

Sebuah tempat salat yang letaknya konon berada jauh dari komplek kampus tempat kami mengemas pangan untuk bantuan sosial bagi masyarakat yang terkena dampak covid-19. 

Yang lain tentu sudah lebih hafal tempat salat itu. Lain lagi denganku, aku baru datang setelah salat Asar tadi. 

"Nunik ayo cepet!" Teriak Mbak Nina.

"Sebentar Mbak, aku cari tas dulu," jawabku. Tanganku sibuk mencari tas dalam tumpukan. Tas teman-teman relawan ditumpuk di atas sebuah meja. Tasku berada paling bawah sepertinya. Aku mencari mukena untuk digunakan salat. 

Dengan bergegas aku melangkahkan kaki bermaksud menyusul Mbak Nina. 

Namun sayang, Mbak Nina sudah tidak lagi terlihat di tempatnya berdiri tadi. Mungkin dia terlalu jenuh menungguku mencari tas. 

"Mungkin Mbak Nina sudah menyusul Mbak Nida dan Mbak Isah," gumamku, seraya mempercepat langkah kaki. 

Aku mengikuti petunjuk sesuai arahan Pak satpam. Untuk menuju ke mushola tempat kami akan salat. 

"Belok kiri, lalu lurus, kemudian belok kanan, nanti kamu akan menemukan pintu kecil berwarna hijau. Ikuti saja jalan itu, di ujung jalan nanti kelihatan ada mushola," kata Pak satpam menjelaskan.

Aku sendiri tidak percaya, belok kiri yang mana, belok kanan yang mana, dan aku harus mengikuti jalan yang mana. Terlalu banyak persimpangan di jalan yang aku lalui. Kampus ini terlalu gelap, penerangan sangat terbatas. Mungkin pihak kampus hanya memasang penerangan di beberapa detik saja. 

Namun aku tak lantas mengurungkan niat. Untuk terus melangkahkan kaki menuju mushola. Aku mencoba mengikuti petunjuk Pak satpam. Sampai akhirnya aku menemukan pintu hijau itu. Pintu dimana aku harus menemukan sesuatu yang sama sekali belum pernah aku temui sebelumnya. 

Hingga saat ini sebenarnya aku tak mampu menceritakan setiap hal yang kualami. Setiap incinya sangat menghantui, membuat bulu kudukku berdiri. Namun, aku bersyukur dan merasa begitu beruntung ketika aku berhasil menceritakan kembali pada kalian. 

Baiklah cerita aku lanjutkan.

Pintu hijau itu terbuka sedikit. Hanya cukup untuk badanku yang kecil. Aku mencoba mendorongnya. Gelap pun menyambutku. Lorong itu jauh lebih gelap daripada keadaan sekitar yang aku lalui sebelumnya. Malam semakin turun, Magrib akan berlalu. Suara azan yang tadi bersahut-sahutan dari masjid terdekat, kini sudah tidak terdengar lagi. Mungkin orang-orang sudah mulai salat di masjidnya masing-masing. 

Ada perasaan aneh menyeruak, ketika aku memutuskan untuk terus melangkahkan kaki menuju mushola. Sebuah tempat yang sama sekali belum pernah aku temui sebelumnya. Entah dimana, entah seperti apa penampakan. 

Aku hanya ingin bisa salat pada tempatnya. Bisa saja aku menunaikan tiga rakaat itu di dalam posko. Namun selama ada masjid yang dekat, mengapa tidak. Salat di masjid pasti lebih utama. 

Lorong yang gelap itu benar-benar tanpa penerangan, dinding-dindingnya lembab sekilas tertangkap oleh pandangan. Cahaya yang remang-remang berasal dari kilatan petir, membuat aku melihat sedikit lebih jelas keadaan di sekitar lorong tersebut. Lorong itu basah, gelap dan dingin. 

Dinding-dindingnya berlapis lumut, ada bau amis di sana. Sangat menyengat hidung. Otaku berkata bahwa itu bau darah. Namun kemudian hatiku lekas-lekas menepisnya. Mungkin itu adalah bau yang berasal dari besi besi berkarat, pikirku. 

Namun belum juga aku berhasil membantah pikiran itu, telingaku menangkap suara-suara aneh. Ada sesuatu yang berbisik, dekat sekali dengan telinga. Bulu kudukku semakin berdiri, makhluk itu jelas ada di belakangku. Punggungku merasakannya. Hatiku bergetar, ada takut yang terlalu. Akupun mencoba menguatkan hati, tidak, ini bukan apa-apa. 

Aku mencoba memberanikan diri menengok ke belakang, ingin memastikan apa yang sebenarnya terjadi. Aku pikir itu adalah senda gurau teman-temanku yang sengaja menakutiku. Namun ketika badanku berbalik, aku tidak menemukan apa-apa di sana. 

Nafasku sedikit lega, berharap itu hanya halusinasi saja. 

Aku melangkahkan kakiku kembali. Menyusuri lorong yang rasanya begitu panjang dari yang aku sangkakan. Besi suara itu kembali muncul. Terasa begitu dingin di dekat kupingku. Sebuah benda menyentuh pundakku. Rasanya seperti sentuhan tangan, dingin dan lembab. Tangan itu mulai meraba, pelan, perlahan, membuat hatiku semakin gentar. 

Aku lari secepat mungkin, yang ada di pikiranku adalah bagaimana caranya lepas dari benda itu, apa namanya. Akhirnya aku keluar dari lorong itu. Aku berada di sebuah tempat yang cukup pencahayaan. Kepalaku masih disibukkan dengan pikiran-pikiran tentang makhluk yang menyentuh pundakku. Siapakah itu? Apakah itu hantu?

Aku kehilangan jejak. Mbak Nina tidak ku temui di sana. Kupikir dari lorong itu, mushola sudah dekat. Tapi ternyata hanya hitam pekat di depan mataku. Ku coba menghubungi Mbak Nina. Lama sekali dia mengangkat teleponku. Namun akhirnya diangkatnya pula panggilanku. Mbak Nina pun berjanji akan menjemputku. 

"Halo, Mbak," ujarku. Suaraku nyaris habis dimakan ketakutan. Aku sudah tidak sanggup lagi berdiri di tempat itu. Namun aku tidak tahu harus mengarahkan langkahku ke mana. Aku sudah berada di belakang kampus, menghadap jalan yang sama gelapnya. Remang-remang cahaya, tidak bisa menerangiku. Aku berusaha menggunakan lampu senter yang ada di aplikasi ponsel. Aku lebih memilih bertahan di sana. Karena jika aku bergerak dan melanjutkan perjalanan, Mbak Nina tidak akan menemukanku.

Menit berlalu, Mbak Nina tidak juga datang seperti janjinya. Aku mulai resah. Telingaku menangkap suara-suara aneh lagi. Kini kudengar ada cerita-cerita minta tolong, seperti orang kesakitan dan sedang mendapatkan siksaan. Pertahananku mulai goyah. Ingin rasanya aku pun ikut berteriak, bahwa di sana aku takut. 

Mbak Nina jelek juga datang. Aku mencoba memanggilnya kembali. Namun sesuatu nampak sekelebat di depan mataku. Seorang gadis berlari menuju lorong itu. Dengan langkah yang terburu-buru, salah iya dikejar sesuatu. Teriakannya pun semakin jelas, ya dia minta tolong. 

Naluriku terpanggil, di tengah rasa takut, aku ingin menolongnya. Langkahku tergerak ke sana. Aku mengikuti langkah gadis itu ke dalam lorong gelap tadi. 

Di dalam lorong, aku menemukan gadis itu tergantung dengan sangat mengerikan. Bajunya robek penuh darah, rambutnya terurai, samar-samar lidahnya pun terjulur. Lehernya tercekik oleh tali. Ingin rasanya aku berteriak, tetapi lidahku rasanya begitu kaku. Aku bersiap untuk melangkah mundur, kembali berbalik arah ke tempat aku menunggu Mbak Nina. 

Namun tiba-tiba sesuatu kurasakan menubruk tubuhku. Besar, kasar, seperti manusia. Tubuhnya terhempas ke tanah, kurasakan tanganku menyentuh lantai yang dingin dan lembab. Wajah ku tersungkur lantai itu. Aku berusaha untuk bangkit. Aku sangat terkejut, ketika aku mendongak, mataku melihat sesosok makhluk tinggi besar, wajahnya menyerupai kucing, arti tangan tubuh dan kakinya masih menyerupai manusia. 

Gigi taring yang begitu panjang, matanya tajam mengancam. Aku berusaha untuk berlari tapi dia menghalangi. Beberapa langkah aku berhasil menghindarinya, tapi kemudian kakiku menjadi kaku. Sepasang tangan muncul dari tembok tembok itu. 

Pantai yang bijak retak, tangan basah dan lembab mencengkram kedua pergelangan kakiku. Aku berteriak, tapi suaraku tidak keluar. Bukan aku terjatuh, ponselku pun begitu. Aku sudah tidak tahu lagi harus berbuat apa. Aku tertahan dalam genggamannya. 

Sesaat kemudian tubuhku perangkat begitu tinggi. sesuatu menarik kerah bajuku dari arah belakang. Tubuh melayang di udara. Didekatkannya tubuhku dengan sosok gadis yang menggantung tadi sampai akhirnya aku bisa melihat jelas berupa gadis tersebut. Seram dan mengkhawatirkan. Wajahnya koyak, hidungnya tak lagi utuh. Lehernya mulai bolong, darah segar bercucuran. Lagi-lagi aku ingin berteriak, tetapi tidak sanggup melakukan. 

Sebisa mungkin aku membacakan ayat-ayat yang kuhapal. Aku berusaha menguatkan hati untuk membaca doa-doa itu. 

Brak! Tubuhku menghantam lantai. Jatuh, sakit sekali. 

Sementara gadis itu tetap tergantung, di atas kepalaku. Aku berusaha lari sekencang mungkin, melewati lorong. Aku sudah tidak peduli dengan mbak Nina yang pasti mencariku. 

Di tengah pelarian, aku terus berusaha melafalkan ayat-ayat yang dibaca. Langkah kakiku begitu berat, tapi akhirnya aku sampai juga di ujung lorong. Pintu hijau itu kubuka dengan segera. 

Hujan mengguyur membasahi tubuhku. Aku terus berlari kencang menuju posko. Sesampainya di sana, kawan-kawan sudah berkumpul dengan gelak tawa dalam bahasanya masing-masing. Mata mereka tertuju padaku seketika, saat aku tiba di pintu ruangan. Berbagai tanya dilontarkannya.

"Kamu kenapa, kok seperti yang ketakutan?" 

Mulutku bisu, tidak bisa menjawab apa-apa. 

Seseorang memapah tubuhku, membiarkanku duduk dan memberikanku minum.

Butuh waktu sekitar 10 menit untuk membuatku tenang dan dapat berbicara menceritakan semua yang kualami kepada teman-temanku disana. Semua memasang ekspresi tidak percaya atas apa yang sudah aku alami. 

Setelah bercerita aku merasa semakin tenang, ini adalah pengalamanku yang paling buruk. Kemudian aku diantar seorang teman untuk mengambil air wudhu di kran depan ruangan. Setelah itu aku melaksanakan salat magrib. Selesai salat, aku mendapatkan kembali diriku. Salat bisa mengusir rasa takutku. Beristighfar berkali-kali, memohon perlindungan kepada Allah. 

Namun tiba-tiba aku merasa khawatir dengan Mbak Nina dan teman-teman yang lain yang sudah terlebih dahulu pergi ke mushola. Mereka pasti melewati lorong itu. Di sana aku hanya bisa berdoa, berharap mereka baik-baik saja. Hujan semakin deras, tidak ada pilihan, selain terus diam di sana melindungi diri sendiri. Mbak Nina dan teman-temannya mungkin bisa menunggu hujan reda di mushola. 

Teman-teman para relawan menghiburku. Mengusir rasa takutku yang mulai mereda. Mereka pun menghadirkan bahasan-bahasan yang lucu. Aku mulai lupa dengan rasa takut yang aku rasakan. 

Namun di tengah-tengah pembicaraan, seseorang mengagetkan. Mbak Isah berteriak sangat kencang. 

"Tolong...." 

Tidak lama kemudian Mbak Nida menyusul. Tubuh mereka ambruk tepat di depan pintu. Mereka pingsan.

Tubuhku bergetar, teringat kembali apa yang dialami tadi. Jangan-jangan bakisah sama Mbak Nida mengalaminya pula. Aku berusaha mengumpulkan keberanian. Teman-teman yang lain berpotong royong membopong tubuh Mbak Nida dan Mbak Isah secara bergantian mereka digotong ke dalam ruangan. Aku bergeming, berdiri di depan pintu. Rasa takut itu kembali menghantui. 

"Di mana Mbak Nina?" gumamku. 

"Nunik, sebaiknya kamu duduk saja!" ujar Riki temanku. Aku mengangguk. Memang sebaiknya aku beristirahat. Apa yang kualami telah begitu menguras energi. 

Namun baru saja aku berbalik arah ndak masuk ke dalam ruangan, Mbak Nina datang dengan wajah pucat pasi. 

Aku mencoba menolongnya. Aku tahu dia pasti ketakutan. Namun ada yang aneh dari pandangan Mbak Nina terhadapku. Dia sama sekali tidak mau ditolong olehku. Tanganku dihempaskannya dengan sangat kasar. Matanya pun memandangku penuh dengan kebencian. Aku tidak mengerti dengan keadaan itu. Sekali lagi aku mencoba meraih lengan Mbak Nina ketika dia hampir ambruk di hadapanku. Namun lagi-lagi Mbak Nina menolak. Sampai kemudian Mbak Nina pun pingsan. 

Aku semakin tidak mengerti apa yang terjadi. Apakah mereka bertiga menemui makhluk yang kutemui pula? 

Doa orang sekuriti datang di ruangan kami. Kemudian mereka menjelaskan, bahwa di lorong itu memang sering ada kejadian yang tidak masuk akal. Satu orang di antaranya bahkan bercerita, bahwa di kampus itu ada seorang gadis yang terbunuh oleh sosok misterius. Polisi pun tidak menemukan pembunuh itu. Delapan tahun berlalu, kasus itu tidak pernah selesai. Sampai akhirnya keluarga korban merelakan dan tidak menuntut lagi. 

Tubuh lemas tak berdaya. Namun aku masih berusaha kuat. Aku tidak ingin menambah kerepotan teman-temanku mengurus Mbak Nina, Mbak Nida, dan Mbak Isah. 

Akhirnya aku memilih duduk. Menyimak kesibukan orang-orang melakukan tindakan penyelamatan. Sementara yang lainnya sibuk menangani orang pingsan. 

Satu orang menelepon, dua yang lainnya membubuhkan minyak kayu putih ke hidung para seniorku yang tergeletak pingsan. Berharap mereka segera sadar dari pingsannya. 

Sungguh Ini pengalaman yang luar biasa. Tidak akan pernah aku lupakan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun