Setelah bercerita aku merasa semakin tenang, ini adalah pengalamanku yang paling buruk. Kemudian aku diantar seorang teman untuk mengambil air wudhu di kran depan ruangan. Setelah itu aku melaksanakan salat magrib. Selesai salat, aku mendapatkan kembali diriku. Salat bisa mengusir rasa takutku. Beristighfar berkali-kali, memohon perlindungan kepada Allah.Â
Namun tiba-tiba aku merasa khawatir dengan Mbak Nina dan teman-teman yang lain yang sudah terlebih dahulu pergi ke mushola. Mereka pasti melewati lorong itu. Di sana aku hanya bisa berdoa, berharap mereka baik-baik saja. Hujan semakin deras, tidak ada pilihan, selain terus diam di sana melindungi diri sendiri. Mbak Nina dan teman-temannya mungkin bisa menunggu hujan reda di mushola.Â
Teman-teman para relawan menghiburku. Mengusir rasa takutku yang mulai mereda. Mereka pun menghadirkan bahasan-bahasan yang lucu. Aku mulai lupa dengan rasa takut yang aku rasakan.Â
Namun di tengah-tengah pembicaraan, seseorang mengagetkan. Mbak Isah berteriak sangat kencang.Â
"Tolong...."Â
Tidak lama kemudian Mbak Nida menyusul. Tubuh mereka ambruk tepat di depan pintu. Mereka pingsan.
Tubuhku bergetar, teringat kembali apa yang dialami tadi. Jangan-jangan bakisah sama Mbak Nida mengalaminya pula. Aku berusaha mengumpulkan keberanian. Teman-teman yang lain berpotong royong membopong tubuh Mbak Nida dan Mbak Isah secara bergantian mereka digotong ke dalam ruangan. Aku bergeming, berdiri di depan pintu. Rasa takut itu kembali menghantui.Â
"Di mana Mbak Nina?" gumamku.Â
"Nunik, sebaiknya kamu duduk saja!" ujar Riki temanku. Aku mengangguk. Memang sebaiknya aku beristirahat. Apa yang kualami telah begitu menguras energi.Â
Namun baru saja aku berbalik arah ndak masuk ke dalam ruangan, Mbak Nina datang dengan wajah pucat pasi.Â
Aku mencoba menolongnya. Aku tahu dia pasti ketakutan. Namun ada yang aneh dari pandangan Mbak Nina terhadapku. Dia sama sekali tidak mau ditolong olehku. Tanganku dihempaskannya dengan sangat kasar. Matanya pun memandangku penuh dengan kebencian. Aku tidak mengerti dengan keadaan itu. Sekali lagi aku mencoba meraih lengan Mbak Nina ketika dia hampir ambruk di hadapanku. Namun lagi-lagi Mbak Nina menolak. Sampai kemudian Mbak Nina pun pingsan.Â