Amira berhenti berbicara. Sejenak ia memejamkan mata. Seolah ingin melupakan sesuatu.
Johan menahan napas, menunggu kalimat lanjutan.
"Seorang lelaki menelefon dengan suara manja dan mengucapkan terima kasih atas keperkasaan suamiku malam itu," papar Amira.
Air matanya semakin deras, bahunya berguncang.
Johan berpindah duduk ke sisi Amira. Ia mencoba menenangkan perempuan yang dicintainya dan berkata, "Maafkan aku, tidak seharusnya kita membahs ini." Pikirannya dipenuhi dengan pikiran-pikiran menjijikan tentamg Hendrik.
"Tidak apa-apa. Tak banyak yang bisa mendengar ini, Johan. Aku merasa harus melepas beban yang selama ini aku simpan sendirian." Amira mengambil sehelai tisu dan kembali menyeka air matanya yang belum berhenti berderai.
"Aku tidak habis pikir, kau menahan semuanya selama bertahun-tahun," ujar Johan. Ia menggelengkan kepala tetap tidak habis pikir.
"Aku tidak ingin anak lelakiku kehilangan sosok ayahnya," jawab Amira. Tangisnya mulai mereda. Ia kembali mengela napas panjang. Disandarkannya tubuh yang tampak letih ke sandaran sova.
Caf tempat mereka bertemu telah lengang.
"Mir, anakmu lelaki?" tanya Johan.
Amira mengangguk.