Mohon tunggu...
Diantika IE
Diantika IE Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Penulis, Blogger, Guru, Alumnus Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Menulis di Blog Pribadi https://ruangpena.id/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Abah Tidak Pernah Mati

4 Mei 2020   18:11 Diperbarui: 4 Mei 2020   18:19 453
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Abah tidak pernah mati, bisikku dalam hati, ia selalu ada, di sini di antara kami.

Tidak akan habis mengenang sosok Abah Samin. Siapakaha dia? Dia memang bukan seorang tokoh. Bukan pula seorang pahlawan yang semua orang mengenalinya serta mengenang jasa-jasanya. Namun bagi kami, ia lebih dari segalanya.

Abah Samin adalah sepupu ayahku. Karena kebaikannya, kami lebih senang memanggilnya Abah. Ia adalah sosok yang begitu asik, pandai melucu, wawasannya luas, hobinya pun membaca buku. Majalah Mangle adalah bacaan kesukananya. Semua edisi habis dibacanya.

"Kalau ada yang baru, lekas bawa ke sini!" ujar Abah padaku, saat Mangle terbaru sudah dibacanya habis tanpa sisa.

Semua rubrik yang tersaji di majalah itu, ia baca semua. Lawang Saketeng, Lalangse Aheng, Puriding Puringkak, sampai Mangle Alit. Barakatak adalah bacaan yang paling menyita perhatian Abah. Gelak tawa selalu tercipta, saat Abah membaca kolom itu.

Pernah suatu ketika, satu RT geger. Pagi-pagi ramai sekali dengan bahasan bahwa 'tadi malam pukul dua dini hari, ada suara tawa yang begitu kencang'. Bebebrapa tetangga mendengarnya dengan bulu kuduk berdiri. Kemudian sekejap, cerita itu menyebar ramai sekali. Orang-orang yang berjalan kaki menuju sawah, ladang, dan yang hendak pergi ke pasar semua membicarakan hal yang sama. "suara tawa laki-laki dini hari".

Abah Samin hanya tertawa puas. Ketika aku protes, "jangan suka baca Barakatak malam-malam!". Sambil tertawa Abah bilang, "tidak apa-apa, nanti lagi tertawanya pelan-pelan saja".

Namun, nyatanya walaupun begitu, kejadian berulang sampai beberapa hari. Abah masih sering tertawa terbahak-bahak dini hari. Cukup mengegerkan kampung kami yang sunyi.

Kampung kami terletak jauh dari keramaian kota. Dari pusat kecamatan saja harus terpisah oleh hutan lindung milik pemerintah. Sunyi, dan masih sangat jarang bertemu rumah penduduk sejauh 5Km. Waktu aku sekolah di SMP, di Situ Gede (nama kawasan hutan) masih suka bergelantungan monyet dan terdengar suara-suara burung langka. Suasana hutan masih benar-benar terasa. Suasana angker pun hinggap ketika malam hari tiba. Akan tetapi, sekarang tidak seseram dulu. Pengendara sepeda motor sekarang sudah banyak yang berani berlalu-lalang di sana malam hari.

"Ceu, na peuting saha nya anu seuri tarik pisan? Kuring kuat ka muringkak bulu punduk? (Mbak, tadi malam siapa yan yang tertawa keras sekali?)" ujar salah seorang tetangga.

Wak Tinah menggeleng kepala seraya mengankat bahu. Keesokkan harinya Abah berhenti membaca dini hari, karena Wak Tinah sang istri cemberut dan protes tiada henti.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun