"Nya, daripada nanti Abah kena razia. Mending dijual (iya, daripada nanti Abah kena razia, mendingan dijual saja)," Â ujar Abah sambil kembali melahap singkong rebus.
"Razia apa, Bah?" tanyaku heran.
"Peusing termasuk hewan langka, Neng. Yang dilindungi oleh pemerintah. Sebetulnya Abah tidak ingin lagi melakukannya. Ah, tapi da sudah kesenangan, mau bagaimana lagi?" ujarnya diselingi oleh tawa lecil. "Kalau tidak berjalan jauh, rasanya kaki ini sakit. Mudah sekali lelah," lanjutnya kemudian.
Aku mengangguk, mencoba memahami perkataan Abah. Ia memang pejalan kaki yang hebat. Â Yang membuatku heran adalah, ketika ia tidak berjalan jauh, Abah malah jatuh sakit. Asmanya kerap kambuh. Namun, ketika Abah banyak berjalan jauh, ia sehat wal afiat.
Pernah Abah bercerita, kalau ia pernah salah sangka dengan sebuah lubang di lereng bukit. Semula ia menyangka bahwa lubang itu adalah sarang landak. Lubang yang cukup familiar, sering ia temui. Abah memang cukup pandai membedakan mana lubang Trenggiling dan mana yang bukan. Ciri-ciri khususnya telah ia pahami betul.
Namun kali itu, ada sebuah lubang yang aneh. Antara yakin dan tidak, apakah itu lubang tempat landak bersarang, ia memberanikan diri memastikan.
"Pas tangan Abah Masuk, dan menariknya, ternyata itu ekor ular sanca." Abah menceritakannya dengan penuh kesungguhan.
"Lalu abah kaget, dong?" aku mencoba menggoda Abah yang selalu mengaku pemburu yang tidak pernah takut dengan apapun.
"Ya iya lah, Abah kaget. Kalau ular Abah tidak pandai menjinakkannya," jawab Abah terkekeh.
"Lalu apa yang Abah lakukan?" tanyaku.
"Abah kemudian bergegas, mencari Pak Hadmi, ia adalah pawang ular. Sudah puluhan ular yang dia taklukkan," kenang Abah.