"Pak Hadmi-nya ada, Bah?" tanyaku penasaran.
"Ada, sedang mandi di kali. Abah tungguin."
Abah terbahak mengucapkan kalimat itu.
"Lho, kok tiba-tiba ada di kali?"
Dahiku mengernyit. Bingung.
"Iya. Ketika Abah akan berangkat berburu dengan Mang Daud, sempat bertemu Pak Hadmi. Ia yang memberi tahu bahwa di tempat itu ada landak. Meminta Abah menangkapnya. Katanya, jangan menangkap trenggiling saja. Sesekali harus bisa mennagkap landak yang berduri. Abah ke sana membawa alat perangkap. Ketika Abah mencoba mengejutkan Landak, ternyata ularlah yang ada di dalam lubang itu. Pak Hadmi mengerjai Abah." tutur Abah panjang lebar.
Di akhir cerita, Abah bilang, kalau akhirnya ular Sanca itu ditangkap oleh Pak Hadmi dan dijual kepada pembeli yang berasal dari kota.Â
Abah memang selalu bersikap sederhana. Makan seadanya memiliki uang pun kadang-kadang. Hanya seadanya dari hasil menjual hewan buruan. Menjual daging trenggiling untuk obat, atau sisiknya yang konon bisa digunakan untuk mengobati penyakit kulit.
Ah, aku jadi ingat. Pernah dijebak memakan daging trenggiling. Rasanya memang enak, seperti daging ayam kampung. Namun ketika aku ingat wujud binatang itu, seketika isi perutku mendadak mendidih. Aku muntah setelahnya.
Abah adalah sosok yang kuat. Tidak pernah banyak mengeluh. Nyaris tidak pernah aku melihat gelayut duka dan beban di pikirannya. Wajahnya selalu tersenyum tulus. Membantu orang lain, ikut kerja bakti, beribadah ke masjid, solat malam, dan membaca buku-buku hingga pengetahuan dan wawasannya kiat bertambah.
"Profesor Samin" Begitu panggilan uwakku yang tinggal di Cianjur. Abah Samin memang tidak sekola tinggi. Hanya sekolah hingga bangku kelas enam SR saja. Akan tetapi, wawasan dan pengetahuannya boleh diadu. Mungkin karena hobi bacanya yang baik. Buku apapun dibacanya. Kitab-kitab, buku hadis, buku geografi, dan lain sebagainya. Rasa ingin tahunya sangat tinggi. Aku ingin menirunya.