"Berhentilah membaca malam-malam, Bah! Orang-orang takut dengan suara tawamu. Mereka menyangkamu genderewo!" ujar Wak Tinah ketus.
"Baiklah, besok aku baca siang hari saja, sambil melepas lelah sepulang dari sawah," ujar Abah dengan santai.
Abah selalu rajin membaca. Mengajinya pun sangat pandai. Ia bangun dini hari, mengaji, membaca majalah, melakukan solat tahajud. Semua itu dilakoninya selama bertahun-tahun. Anakk Abah Cuma satu itu pun sudah menikah dan tinggal di tempat yang juah. Karena itu, aku dan adik-adik adalah anak-anak mereka. Sepanjang hidupnya Abah dan Wak Tinah tidak pernah lelah mengasuh dan menjagai kami.
"Neng, Abah kemarin dapat Peusing," uajr Abah bercerita suatu hari.
Kami duduk-duduk di teras rumahnya, sambil menyantap singkong rebus dicocol irisan gula aren. Singkong yang pulen diambil dari kebun yang tidak jauh dari pekarangan rumah Abah sendiri.
"Lalu peusing-nya dikemanakan, Bah?" Tanyaku penasaran.
Peusing adalah nama lain dari trenggiling. Bianatang melata bersisik keras dan mulutnya moncong. Suka menyulap dirinya menjadi bulat seperti bola kala menyadari bahaya.
Selain senang membaca, Abah Samin adalah seorang pemburu. Ia senang menjelajahi hutan. Kakinya begitu kuat, menyusuri hutan sejauh puluhan Km. Abah sampai hafal betul nama-nama kampung yang terlewati antara pusat kota kabupaten sampai di kampung kami yang begitu jauhnya.
Abah berjalan dengan telanjang kaki menyusuri kebun-kebun, ladang-ladang, sawah serta hutan. Ia hafal betul jalan tercepat menyusuri lading dan hutan agar segera sampai di kampung kami. Ia sangat paham liku perbukitan. Menguasai ilmu medan, peta dan kompas. Semua itu dipelajari Abah dengan otodidak.
"Peusingna aya nu meuli, dikilo di jalan (trenggilingnya ada yang membeli, ditimbang, perjalanan)," ujar Abah sambil tertawa.
"Oh, Alhamdulillah. Lumayan, Bah," ujarku ikut senang.