Situ Lengkong Panjalu lumayan sepi jika bukan akhir pekan. Kamis, hari yang kamu pilih untuk sejenak melarikan diri dari rutinitas pekerjaanmu di sebuah perusahaan Tasikmalaya. Kau sangat terbiasa membuang penat di tempat-tempat yang menurutmu bisa menenangan pikiran. Ke gunung, pantai, dan hutan.
Kau memang begitu. Bukanlah tipe pria yang suka cafe, seperti teman-temanmu yang lain. Mereka menghabiskan waktu di warung kopi bersama rekan-rekan. Walaupun sebetulnya, Kau pernah melakukannya sesekali demi agar tidak dianggap terlalu anti sosial oleh rekan-rekanmu.
Entah mengapa, tiga bulan terakhir ini Kau begitu malas pergi kemana-mana. Kamis sore, kau gunakan untuk mengunjungi sanak saudara di Panjalu. Keluarga Bibimu satu-satunya yang menjadi pengganti ibumu yang telah lama pergi. Namun bukan hanya alasan Bibi dan Pamanmu yang membuatmu harus berkunjung ke Panjalu Kamis sore. Ada alasan lain yang lebih mendasar untuk kau melakukannya.
Sudah puluhan kali, kamu menyengaja duduk sendiri di tembok itu. Menghadap Situ Lengkong, menikmati keindahannya dari kejauhan. Matamu memandang lepas, sejauh jangkauan bola mata. Pandanganmu kosong, tidak sedang memerhatikan apapun.Â
Terlalu sering kau datang ke sana membuat tempat itu terasa biasa saja, tidak ada lagi yang perlu kau perhatikan dengan seksama. Pedagang asongan, penunggu jongko supenir, kedai bakso, sampai tukang sapu di sana semuanya mengenalmu. Semuanya sudah terlalu biasa melihatmu duduk di sana. Bahkan tukang rakit, sudah bosan mengayuh rakitnya yang ditumpangi kamu.
Namun kamu sendiri tahu, setiap kali datang ke sana sudah pasti hati dan pikiranmu penuh sesak. Dijejali kenangan dan harapan yang entah apa. Semuanya bertumpuk, berkumpul di sana. Kau ke sana dengan tujuan yang tidak jelas.Â
Antara melepasan beban pikiran atau malah memungut kenangan yang pernah terpatri di sana. Ya, nyatanya, hati dan pikiranmu tidak pernah benar-benar terbebas dari semua hal tentang seorang perempuan yang kau akui sebagai kekasih. Kekasih rahasia, yang tahu hanya kamu dan hatimu sendiri.
"Bukankah kekasihmu itu Sofi?" tanya Regan teman kantormu ketika Kau kedapatan terlalu sering menyebutkan nama Yessi dalam percakapan kalian. Kamu kikuk, hanya bisa tersenyum dan menghela napas panjang, lalu menggeleng kepala, sesekali mengangkat bahu, menepuk jidatmu sendiri atau garuk-garuk kepala tanpa alasan jelas.
"Ya, kekasihku adalah Sofi," kalimat itu Kau ulang-ulang setengah berbisik. Seolah ingin meyakinkan bahwa hatimu hanya untuk Sofi. Kau berbohong. Kebohongan yang tidak pernah berhasil membohongi hatimu sendiri.
Sofi adalah calon istrimu, yang Kau pinang sudah sejak lama. Hampir seluruh rekan kerjamu kau undang dalam acara pertunangn kalian, bukan? Aku yakin semuanya sudah hafal betul bentuk dan rupa Sofi-mu itu. Akan tetapi, nyatanya tidak, kau kadang lebih sering menyebut nama yang lain.
Kedua keluarga kalian pun sudah begitu dekat. Hari pertikahan kalian tinggal menghitung hari. Namun lamunan tentang perempuan itu selalu menghantuimu, senyum Yessi bagaikan candu yang selalu ingin kau reguk. Ketika sedang tidak bersama Sofi, diam-diam Kau membuka galeri ponselmu. Ada satu dua foto perempuan cantik itu di folder tersembunyi ponsel pintarmu.
Hhh, orang bilang itu adalah godaan ketika seseorang akan menikah. Kau pun berusaha menepisnya, mengusir bayangan Yessi adalah hal yang paling sering kau lakukan. Namun semakin mencoba melupakan semakin lekatlah sosok itu di pikiranmu. Yessi malah semakin mendarah daging dengan tubuhmu. Sampai suatu ketika, bahkan berulang-ulang pertanyaan besar itu datang, "apakah aku gagalakan saja rencana pertikahan dengan Sofi?"
Pikiran gila itu menguat tiba-tiba. Ketika kau melangkahkan kaki ke tepi Situ lengkong. Tepat saat kakimu menginjak jembatan bambou yang menghubungkan pengunjung ke rakit-rakit yang akan berangkat keliling danau.
"Kang, kemana saja? Neng Yessi teu diajak?" Mang Darman berteriak dari rakitnya yang berjarak empat meter lagi dari posisimu berdiri. Dadamu terhenyak. Selama dua tahun tidak ke sana bersama Yessi, penjaga rakit masih mengingat nama perempuan itu. Kamu hanya bisa menggelengkan kepala tanpa bisa menjawab satu patah kata pun.
"Neng Yessi seminggu yang lalu ke sini, Kang!" ujarnya kemudian. Kini kamu bisa mendengerkan Mang Darman bicara tanpa berteriak. Karena kamu sudah duduk di rakitnya. Kamu terkejut. Lalu, "hari apa? Sama siapa, Mang?" kalimatmu terdengar begitu bersemangat, sekaligus penuh sesal.
"Sama teman-temannya, perempuan semua. Tapi ketika yang lain sibuk menikmati pemandangan, si Neng mah malah cerita banyak sama Mamang," ujar Mang Darman. Kamu menelan ludah, tanpa melepaskan pandangan dari wajah Mang Darman yang penuh keringat. Ia sibuk mengayuh, mendorong bambunya untuk menggerakan rakit.
"Katanya dia rindu sama Akang," ucapnya kemudian sambil terkekeh. Ada rasa yang sulit kau gambarkan dalam dadamu. Antara senang dan lagi-lagi kesal, mengapa perempuan itu tidak memintamu untuk datang pula di Situ Lengkong pada hari dan jam yang sama.
"Lalu, Mang?" kau pun bertanya penasaran. Sayangnya Mang Darman enggan melanjutkan ceritanya. "Akang temuin saja Neng Yessi. Biar tidak menyesal, ya!" ujarnya. Lalu memperkuat kayuhan bambunya.
Lamunanmu menerawang. Saat itu pula ingin rasanya kamu langsung menghubungi Yessi. Bertanya kabar, dan menanyakan mengapa tidak memberi kabar jika kembali ke Situ Lengkong, tempat yang paling memiliki kenangan seantero Ciamis dalam waktu dekat ini. Namun kemudian kamu baru ingat, jika ponselmu kau tinggalkan di mobilmu.
Kamis ini begitu berbeda. Lain dari biasanya, Situ Lengkong membiusmu masuk ke dalam dunia yang entah apa. Kau pun menjadi lupa tujuan datang ke sana. Tujuan yang memang selalu abu-abu. Antara ingin menghilangkan penat atau sekadar mencoba meyakinkan diri apakah benar ia akan menikahi Sofi dalam keadaan hati yang berpaling.
Sungguh, kabar yang kau dapat dari Mang Darman hari itu telah membuat kesimpulanmu semakin bulat. Ya, semua perasaanmu, kini tidak lagi buat Sofi yang justru akan mendampingi hidupmu seumur hidup jika kalian jadi menikah.
Mang Darman kembali menyarankan kau menemui Yessi sesaat sebelum kau meninggalkannya di tepian Danau. Kau kembali ke tembok tadi, mendekati mobilmu. Menyapa penjual Cilok keliling, melempar senyum pada petugas parkir berbaju biru, lalu melambakan tangan kepada petugas kebersihan yang berteriak menyapamu dari sebrang jalan.
Sejenak kemudian, kau bangkit dari dudukmu, penat menguasai, membuatmu ingin melakukan sesuatu. Menghisap rokok adalah teman akrabmu di kala penat. Kau menyalakan rokok yang kau ambil dari dashboard mobilmu. Namun, ah, kemudian kau urung, tidak jadi menyalaknnya.
"Yessi ...," kau bergumam menyebut nama perempuan itu dengan hati yang bergetar. Matamu memejam, lagi-lagi kau menghela napas panjang, "baiklah, aku tidak akan merokok lagi!" kau berbisik kepada dirimu sendiri. Kemudian kau melemparkan rokok itu jauh-jauh. Bersama bungkusannya yang baru kau nikmati satu dua batang sebelumnya.
"Akang, kalau sayang sama calon istri sayangi diri sendiri dulu, ah!" kalimat itu meluncur dari bibir Yessi yang merah muda, begitu sulit kau lupakan, bahkan suaranya yang khas selalu terngiang di telingamu.
Seat kemudaian kepalamu disibukan dengan pertanyaan, "kenapa bukan Sofi yang mengatakannya kepadaku?" Selama ini tunanganmu itu baik-baik saja, tidak pernah mengingatkanmu tentang rokok dan rusaknya kesehatanmu sebagai akibat dari merokok itu sendiri. Kini, ketika kau merindukan Yessi, rokokmu mendadak terasa pahit di mulut, kau tidak lagi berselera.
Ingatanmu pun berselancar. Di tengah-tengah Situ Lengkong kalian bersenda gurau. Di atas perahu menuju Nusa Pakel. Perempuan cantik itu tidak berhenti menceritakan semua hal yang bisa ia katakan. Memanjakan telingamu. Suaranya yang khas sedikit serak membuatmu semakin mudah mengingatnya, kemudian kau benar-benar tidak mampu melupakannya. Apalagi setelah mendengar cerita Mang Darman tadi. Ada Yessi di rakit itu, ada Yessi di seluruh hamparan air yang tergenang di Situ Lengkong, ada Yessi di Nusa Pakel, dan ada Yessi di pikiranmu, di seluruh aliran darahmu.
 Perempuan itu awalnya bukan siapa-siapa. Hanya sebatas rekan kerja yang masuk lebih akhir daripada kamu. Namun nyatanya kalian sering sekali pergi bersama dalam satu tim. Membuatmu merasa bahwa dia bukan lagi siapa-siapa. Pulang Kau antarakan dia, kemudian semakin akrablah kalian.
Yessi begitu sopan, menjaga jarak denganmu, menghormatimu sebagai atasan. Namun entah kenapa, justru sikapnya yang pandai menjaga perasaan dan mengatur jarak itulah yang membuatmu kagum kepadannya.
Teleponmu yang kau tinggalkan di dalam mobil berdering, membuyarkan lamunan. Entah kenapa, kau begitu malas menjawabnya. Kau sudah tahu, dari siapa panggilan itu berasal. Sofi pasti akan memberitahumu bahwa ia sudah ada di salon Shanty, salon khusus perwatan perempuan. Ia akan memberitahumu bahwa ia melakukan treatment khusus demi hari bahagia kalian nanti.
"Akang jangan begitu!" Ucap Yessi di jam makan siang dua minggu lalu. Kalian makan bersama dengan tiga orang rekan. Ketika yang lain belum datang berkumpul di meja, tidak sengaja kau dan Yessi mendapatkan kesempatan duduk berhadapan. Kau tentu senang bukan?
"Kenapa, Yessi?" tanyamu kemudian, sambil dada berdebar itu adalah kali pertama kalian duduk hanya berdua di sebuah meja restoran.
"Akang jangan suka perhatian sama saya. Saya tidak enak." Jawabnya sambil senyum begitu manis, kemudian perempuan itu pura-pura sibuk memilih menu makan. Kau dengan leluasa bisa memandang rona pipinya yang bersemu merah.
"Aku perhatian karena kamu juga begitu baik, Yessi," jawabmu tulus. Dibalas dengan tatapan mata perempuan itu yang begitu dalam. Kau tidak mampu mengendalikan degup jantungmu yang semakin kencang.
"Bukan karena itu, Akang, ..., tapi ...," Yessi tidak melanjutkan kalimatnya.
"Lalu?" dahimu kala itu mengernyit, menantikan jawaban Yessi selanjutnya. Sesaat kemudian harapanmu untuk mendapatkan jawaban gagal dengan kedatangan ketiga rekan kerjamu. Obrolan pun langsung berganti tema dengan menu kesukaan masing-masing. Kau sendiri larut dalam percakapan antar sesama pria dengan Doni rekan kerjanmu.
Selama dua tahun lamanya semenjak kalian duduk berdekatan di rakit Situ Lengkong, kau menahan rasa pada Yessi dan melanjutkan hubungan dengan Sofi. Rencana-demi rencana sudah ditata dengan baik. Pertunangan, penentuan tanggal pertikahan, berjalan begitu saja. Sofi yang begitu percaya diri kalau calon suaminya hanya menambatkan  hati kepadanya. Menjalani aktivitas dengan penuh semangat. Merawat diri, mempercantik diri. Menyiapkan tampilan terabaik untuk hari bahagianya, hari bahagia kalian.
Tunggu sebentar, tiba-tiba kau merasakan rasa penasaran yang mendalam. Tentang jawaban kalimat Yessi yang terpotong dua hari yang lalu. Dan kabar dari Mang Darman itu. Dia bilag "Yessi merindukanku?"
Setengah meloncat kau menuju mobil, mengambil ponsel. Hendak menelpon Yessi, mencari jawaban pertanyaan yang menggangtung itu. Tetapi kau urung. Sebuah panggilan tidak terjawab yang semula disangka dari Sofi, nyatanya dari Danu teman kerjamu. Sebuah pesan muncul di wa.
"Rahman, lekas ke RSUD Ciamis, Yessi kecelakaan. Sekarang koma." Hatimu luluh lantak. Sakit sesakit-sakitnya. Lututmu menjadi lunglai. Kau sendiri tidak yakin apakah akan sanggup atau tidak mengemudikan mobilmu sampai di RSUD. Tidak terasa air matamu meleleh perlahan di pipimu.
"Aku tidak boleh kehilangan Yessi, aku harus membuatnya hidup." Kau bergumam berkali-kali seolah membaca mantera untuk membuat kekasihmu bertahan hidup.
Mobil melaju kencang, Situ Lengkong Kau tinggalkan. Yessi lebih memerlukanmu, di luar sepengetahunmu. Mungkin, ia akan hidup kembali karena cintanya hanya untukmu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H