Mohon tunggu...
Diantika IE
Diantika IE Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Penulis, Blogger, Guru, Alumnus Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Menulis di Blog Pribadi https://ruangpena.id/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Majelis Taklim

5 Oktober 2019   21:10 Diperbarui: 5 Oktober 2019   21:19 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Limbangan pagi hari. Mentari malu-malu memunculkan diri dari balik gunung. Cahanyanya yang hangat membelai mesra dedaunan, pohon-pohon, dan juga tubuhku yang masih kaku dan pegal dilanda angin malam saat begadang semalaman. Langkah kakiku perlahan, menelusuri jalan yang sedikit menanjak.

Ada ragu yang menggelayut, menganggu sekali di kepala. Ah, mungkin aku memang terlalu perasa. Pagi itu memang aku akan bertamu. Akan tetapi mengapa harus sepagi ini? Apakah tidak akan merepotkan tuan rumah?

Langkakhu terhenti di pertigaan jalan setapak. Embun-embun berkilatan memantulkan cahaya matahari. Kelap-kelip cantik membius mata. Cicit burung pipit di atas ranting-ranting. Mereka bersahutan menyambut mentari. Berterbangan kian kemari, bergegas mengais rejeki.

Seorang petani jalan mendekat. "Punten, Neng," ujarnya seraya melempar senyum yang tulus. "Mangga, Pak," aku beringsut mengatur posisi, memberi jalan lewat kepada bapak petani. Langkahnya tidak tergesa, tetapi tetap gagah menatap ke depan. Cangkul di pundaknya berayun seiring langkah kakinya. Diikatnya golok serta serangkanya di pinggang. Langkah bapak petani mantap, menyusuri pematang sawah menjauh, meninggalkanku. Terbenam di antara hijau hamparan sawah.

Aku tertegun, sosok Pak tani tadi mengingatkanku pada sosok Wak Karto yang telah lama meninggalkan kami anak-anak asuhannya. Wak Karto adalah uwakku yang tidak dikaruniai anak, jadi, kamilah anak-anak sekampung yang menjadi anak-anaknya. Aku adalah salah satu anak paling dekatnya.

Wak Karto selalu riang pergi ke sawah, langkahnya juga mantap seperti petani tadi. Jika daun padi masih penuh embuh, Wak Karto mengajarkanku mengambil belalang yang masih bersembunyi di balik daun-daun  padi itu. Belalang itu kemudian kumasukan ke botol bekas air mineral.

"Keluarkan lagi kalau kamu sudah puas bermain, jangan lupa masukkan satu dua helai daun padi ke dalamnya agar belalang tidak kelaparan," pesan Wak Karto saat itu.

Hm, aku kecil memang tidak terlalu feminim. Mainku di sawah bersama Wak Karto dan Istrinya Wak Tinuy. Ayah dan Ibu sibuk bekerja mendidik anak-anak bangsa. Mereka berdua, tidak keberatan jika anak perempuannya turun ke sawah mengambil belalang, turun ke selokan mengambil ikan-ikan kecil, atau berpanas-panasan di tengah-tengah hamparan sawah yang membentang dari ujung timur ke barat, selatan ke utara.

Ayah dan ibu tidak pernah khawatir anak perempuannya berkulit hitam legam. Mereka berdua baru khawatir jika anaknya tidak lagi main gara-gara sakit step demam semalaman. Itu pun mereka tetap panik dalam batas wajar. Tubuhku dikompresnya sama parutan labu siam dan dibalur bawang merah parut yang dicampur minyak kelapa. Ah, masa kecilku memang istimewa.

Langkahku maju beberapa langkah. Ada yang menarik tertangkap panca indraku. Matahari yang baru muncul dari bawah bukit. Aku jatuh cinta pada pemandangan itu. Kusempatkan megambil satu dua poto. Kemudian kembali menyusuri jalan menanjak menapaki jalan. Kuharap, bisa segera sampai di tujuan, Majelis Taklim Al Barokah.

Seseorang yang sangat aku kenal muncul dari balik pintu. Kusalami dan kukecup punggung tangannya. Ia mempersilakanku duduk. Aku sedikit kikuk namun berusaha menenangkan diri. Bertamu terlalu pagi adalah hal yang paling tidak pernah aku setujui. Sementara, kini menimpa diriku sendiri.

"Sebentar Ibu ambilkan bubur kacang panas," kemudian ia menghilang ditelan daun pintu. Tidak lama kemudian muncul kembali dengan wadah berukuran sedang serta mangkuk-mangkuk kecil dan sendok pada sebuah nampan. Bubur kacang mengepul di wada. Wangi campuran gula aren, kacang hijau dan aroma daun pandan merangsang air liurku. Aku menelan ludah, menyembunyikan hasrat untuk segera mencicipi hidangan. Ibu Marwah tersenyum manis. "Silakan cicipi, Teh," ujarnya begitu ramah. Aku mengangguk perlahan.

Mentari sedikit merangkak. Rasanya pagi ini begitu lamban bergerak. Aku yang masih sendiri sedikit kehabisan cara untuk menyembunyikan kecanggungan. Beruntung, semangkuk bubur kacang berhasil menenangkan suasana. Tepat sesaat setelah mangkuk buburku kosong, seorang pemuda tiba dengan seorang lelaki paruh baya yang kemudian dikenalkannya sebagai paman.

Setelah berbasa-basi dengan tuan rumah, Yudha, pemuda itu mendekat, menyendok bubur ke mangkuknya. Kepulan asap dihirupnya. "Hm... wangi begini, sepertinya lezat," gumamnya.

Ia menyapaku ramah. Kami bicara sekadar untuk lebih mencairkan suasana. Belakangan, kuketahui ternyata pemuda itu sesama mahasiswa di kampusku yang menyengaja datang untuk melakukan kegiatan bakti sosial di Majelis Taklim yan dipimpin oleh tuan rumah yang kami kunjungi. Aku sendiri, memiliki kepentingan untuk melakukan penelitian di tempat tersebut.

Kami duduk di sisian kolam. Pada sebuah kursi kami berbagi cerita. Majelis taklim yang kami kunjungi memang selalu memberi arti. Kami datang di waktu yang berbeda, kebetulan saja hari ini kami bersama.

"Aku terkesan dengan tempat ini," ujar pemuda itu. Matanya memandang ke sekeliling, sembari tersenyum mengenang sesuatu. Ia mengatakan, bahwa ia sangat berbaggga hati telah mengenal pemilik Majelis Taklim. Sosok rendah hati, dermawan, dan bijaksana. Belajar banyak darinya adalah sebuah pilihan yang tidak mesti dipilih lagi.

Aku tersenyum menaggapi ceritanya. Tidak dapat dipungkiri, semua orang hampir sepakat, tidak terkecuali aku sendiri, jika pemilik majelis memang begitu kharismatik. Semua jamaah diperlakukan begitu baik, tidak heran kalau tiap digelar pengajian orang selalu berbondong-bondong datang ke sini.

Bangunan yang dibangun di atas kolam ikan lele, berdiri kokoh, menampung ratusan jamaah. Betapa banyak pahala yang didapatkan jika setiap orang melangkahkan kaki dengan tulus ke tempat tersebut, menyimak ilmu dan ilmu itu dimanfaatkan oleh setiap orang.

Memandang bangunan majelis yang ada di hadapanku, ingatanku menerawang ke masa SMA. Dimana aku sendiri bercita-cita memiliki sebuah lembaga pendidikan. Sampai sekarang mimpi itu kusimpan di saku bajuku, kubawa kemanapun aku pergi. Sampai suatu hari bisa kuwujudkan.

"Di, insyaallah nanti kita wujudkan sama-sama, yuk." Ah, sesosok tampan memenuhi rongga kepalaku. Senyumnya begitu manis, peci dan baju kokonya memukau, mengacaukan kesadaran bahwa aku sedang berada di sebuah Majelis Taklim milik orang lain.

"Ayo, kita mulai. Rombongan relawan sudah datang," Suara Yudha mengagetkan. membuyarkan khayalanku mengelola sebuah Majelis Taklim bersamanya, lelaki pemilik senyum termanis. Ah, semoga saja ya Bi. Gumamku dalam hati.

Langit Limbangan begitu cerah. Kakiku melangkah mantap, melibatkan diri ke tengah-tengah rombongan relawan. Senyum-senyum tulus terpancar di wajah mereka. Binar mata yang penuh semangat dan ketulusan tergambar di wajah Professor, sang Pengelola. Aku mengangguk hormat, "Silakan mulai, Prof!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun