Mohon tunggu...
Diantika IE
Diantika IE Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Penulis, Blogger, Guru, Alumnus Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Menulis di Blog Pribadi https://ruangpena.id/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Majelis Taklim

5 Oktober 2019   21:10 Diperbarui: 5 Oktober 2019   21:19 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Sebentar Ibu ambilkan bubur kacang panas," kemudian ia menghilang ditelan daun pintu. Tidak lama kemudian muncul kembali dengan wadah berukuran sedang serta mangkuk-mangkuk kecil dan sendok pada sebuah nampan. Bubur kacang mengepul di wada. Wangi campuran gula aren, kacang hijau dan aroma daun pandan merangsang air liurku. Aku menelan ludah, menyembunyikan hasrat untuk segera mencicipi hidangan. Ibu Marwah tersenyum manis. "Silakan cicipi, Teh," ujarnya begitu ramah. Aku mengangguk perlahan.

Mentari sedikit merangkak. Rasanya pagi ini begitu lamban bergerak. Aku yang masih sendiri sedikit kehabisan cara untuk menyembunyikan kecanggungan. Beruntung, semangkuk bubur kacang berhasil menenangkan suasana. Tepat sesaat setelah mangkuk buburku kosong, seorang pemuda tiba dengan seorang lelaki paruh baya yang kemudian dikenalkannya sebagai paman.

Setelah berbasa-basi dengan tuan rumah, Yudha, pemuda itu mendekat, menyendok bubur ke mangkuknya. Kepulan asap dihirupnya. "Hm... wangi begini, sepertinya lezat," gumamnya.

Ia menyapaku ramah. Kami bicara sekadar untuk lebih mencairkan suasana. Belakangan, kuketahui ternyata pemuda itu sesama mahasiswa di kampusku yang menyengaja datang untuk melakukan kegiatan bakti sosial di Majelis Taklim yan dipimpin oleh tuan rumah yang kami kunjungi. Aku sendiri, memiliki kepentingan untuk melakukan penelitian di tempat tersebut.

Kami duduk di sisian kolam. Pada sebuah kursi kami berbagi cerita. Majelis taklim yang kami kunjungi memang selalu memberi arti. Kami datang di waktu yang berbeda, kebetulan saja hari ini kami bersama.

"Aku terkesan dengan tempat ini," ujar pemuda itu. Matanya memandang ke sekeliling, sembari tersenyum mengenang sesuatu. Ia mengatakan, bahwa ia sangat berbaggga hati telah mengenal pemilik Majelis Taklim. Sosok rendah hati, dermawan, dan bijaksana. Belajar banyak darinya adalah sebuah pilihan yang tidak mesti dipilih lagi.

Aku tersenyum menaggapi ceritanya. Tidak dapat dipungkiri, semua orang hampir sepakat, tidak terkecuali aku sendiri, jika pemilik majelis memang begitu kharismatik. Semua jamaah diperlakukan begitu baik, tidak heran kalau tiap digelar pengajian orang selalu berbondong-bondong datang ke sini.

Bangunan yang dibangun di atas kolam ikan lele, berdiri kokoh, menampung ratusan jamaah. Betapa banyak pahala yang didapatkan jika setiap orang melangkahkan kaki dengan tulus ke tempat tersebut, menyimak ilmu dan ilmu itu dimanfaatkan oleh setiap orang.

Memandang bangunan majelis yang ada di hadapanku, ingatanku menerawang ke masa SMA. Dimana aku sendiri bercita-cita memiliki sebuah lembaga pendidikan. Sampai sekarang mimpi itu kusimpan di saku bajuku, kubawa kemanapun aku pergi. Sampai suatu hari bisa kuwujudkan.

"Di, insyaallah nanti kita wujudkan sama-sama, yuk." Ah, sesosok tampan memenuhi rongga kepalaku. Senyumnya begitu manis, peci dan baju kokonya memukau, mengacaukan kesadaran bahwa aku sedang berada di sebuah Majelis Taklim milik orang lain.

"Ayo, kita mulai. Rombongan relawan sudah datang," Suara Yudha mengagetkan. membuyarkan khayalanku mengelola sebuah Majelis Taklim bersamanya, lelaki pemilik senyum termanis. Ah, semoga saja ya Bi. Gumamku dalam hati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun