Namanya Cokro. Badannya tambun pertanda kurang berolah raga. Kulitnya hitam legam, entah karena terlalu sering terbakar sinar matahari atau mungkin karena bawaan lahir. Rambutnya yang ikal, sudah mulai memutih. Matanya bulat, hidungnya besar seperti jambu air. Di bawah hidungnya ditumbuhi kumis tebal.Â
Jika kalian memperhatikan tangannya, semua jari kecuali jempol dipenuhi oleh cincin batu akik. Warna - warni. Konon, setiap batu yang terpasang di cincinnya itu memiliki kekuatan majik yang berbeda-beda. Itulah mengapa selama ini tidak ada yang benar-benar berani menentang Cokro. Â
Cokro, adalah seorang anak saudagar kaya. Usianya sudah tua. Lebih dari kepala lima. Anaknya pun sudah besar-besar. Bahkan ia sudah memiliki cucu. Namun memang orang tuanya masih hidup dan masih bisa memimpin perusahaan keluarga. Walau sekarang Cokro mengaku-ngaku bahwa dialah pemimpin pabrik yang telah puluhan tahun berdiri itu.
Ia terlahir sebagai orang yang kaya raya. Sejak kecil ia dididik oleh gelimang harta yang berlimpah. Ia terbiasa hidup enak dan berkecukupan. Ia memiliki tiga saudara. Satu laki-laki dan satu perempuan. Kedua adiknya hidup terpisah. Ia dibesarkan oleh kedua orangtuanya, sementara kedua adiknya malah memilih hidup bersama neneknya, karena sejak kecil Cokro sudah memiliki perangai yang buruk.
Kata-katanya yang selalu pedas menyakitkan hati, sangat padan dengan kumisnya yang begitu tebal. Sebagian orang akan mengatakan bahwa wajahnya seram seperti tokoh penjahat dalam film India. Kejahatannya tidak bisa disembuhkan oleh nasihat dan kelembutan.
Ayah Cokro, Haji Sukaryo, adalah seorang yang terpandang. Tidak akan ada habisnya jika kita menghitung kekayaan yang dimilikinya. Banyak orang yang mengatakan jika kekayaannya itu tidak akan habis tujuh turunan. Takan habis dibagi berkali-kali.Â
Kerena bukan hanya satu sumber penghasilan. Bukan hanya dari pabrik itu sumber uangnya. Hamparan sawah yang begitu luas, gunung batu penghasil batu alam, dan beberapa toko bangunan yang besar di berbagai kecamatan tercatat sebagai milik Haji Sukaryo. Tidak diragukan lagi, Haji Sukaryo adalah pekerja keras dan pembisnis yang hebat sejak usia muda. Â
Namun, Â kini Haji Sukaryo telah tua renta. Bahkan untuk menandatangan berkas perusahaan saja ia sudah harus dipapah oleh pelayannya. Tangannya sudah gemetaran begitu memegang sebuah pena untuk membubuhkan sebuah tanda tangan.Â
Hanya saja dengan kalimat Bismillah ia selalu berhasil melakukannya. Langkah kakinya tidak lagi kuat. Badannya gontai dan harus dibantu jika berjalan. Maklum usianya sudah begitu senja. Ia harus selalu serba dilayani, dan dibantu oleh beberapa pekerjanya untuk melakukan banyak hal.
Akan tetapi, soal ketajaman ingatan, pak Haji masih memiliki ingatan yang begitu kuat. Jika Kalian memiliki utang dua ribu saja kepadanya maka ia akan selalu ingat dan menagihmu membayar tunggakan.Â
Ia juga mampu mengingat nama-nama karyawannya lengkap dengan karakter-karekter mereka yang khas. Terutama kepada bu Minem penjaga kantin pabrik yang sudah bekerja di sana sepuluh tahun lebih yang berbadan motok, sepertinya ia tidakakan pernah lupa. Bu Minem adalah penyemangat hidupnya semenjak istrinya meninggal dunia.
Lupakan sosok Haji Sukaryo. Kita ceritakan kembali soal anaknya Cokro. Hidupnya yang semakin tua semakin rakus harta. Semakin haus kekuasaan dan jabatan. Konon, ia adalah mantan seorang pegawai pemerintah.Â
Ketika memiliki jabatan itu ia seolah memiliki taring yang tajam, bebas menerkam setiap siapa saja yang berani melawannya. Tidak sedikit karyawan yang mengundukan diri diam-diam hanya untuk menemukan ketenangan batin. Karena bekerja bersama Cokro itu sama artinya dengan tinggal di kandang macan. Setiap hari harus siap menjadi mangsa empuknya. Menjadi bawahan Cokro, hanya dijadikan alas kaki, diinjak dan dihina.
**
Suatu senja yang dingin, hujan deras mengguyur kota Mojokerto. Cokro masih memimpin rapat besar perusahaan. Beberapa karyawan sudah terlihat gelisah. Berbagai cara dilakukan mereka untuk membuang penat akibat mendengarkan ocehan Cokro.Â
Sebuah pidato panjang yang tidak habis dalam waktu dua jam. Paparan panjang tentang kedisiplinan kerja, kewajiban karyawan, larangan membolos, dan sisanya adalah bercerita tentang keinginan dan mimpinya tentang perusahaan keluarga yang kini dipimpinnya.
Macam-macam kegiatan yang dilakukan para peserta rapat. Mulai dari mengamati gerak jarum jam di dinding, menengok arloji setiap lima menit sekali, atau memandang ke arah jendela mengamati hujan deras yang tidak segera berhenti. Ada pula yang terpaksa manggut-manggut pura-pura paham dan sepakat dengan apa yang dikatakan sang penguasa karena posisi duduk mereka tepat berada di hadapan dimana Cokro duduk di singgasananya.
Ia begitu puas mencak-mencak di hadapan bawahannya, ketika tiba-tiba bahasan mengerucut kepada bahasan tentang karyawan yang sering terlambat masuk kerja. Bahasa yang ia gunakan pun begitu kasar. Bahkan nama-nama binatang pun bisa diabsennya oleh mulut berkumis baplang itu.Â
Ia tak peduli kepada perut-perut karyawannya yang lapar belum makan sedari siang. Ia juga tidak peduli jika keluarga para karyawan menunggu mereka di rumah. Baginya belum puas jika belum mengevaluasi kinerja. Tepatnya, Â mencari-cari kesalahan orang lain.
Pembicaraan panjang itu sampailah kepada bahasan yang paling menyakitkan bagi semua orang. Cokro sambil tertawa terbahak, berkata tentang karyawan yang paling setia yang baru saja meninggal sehari yang lalu.Â
Pak Turno, namanya. Ia adalah pegawai yang paling bertahan lama bekerja di sana. Semenjak perusahaan itu berdiri sampai sore kemarin ia adalah karyawan yang paling setia. Â Usianya sudah senja. Sudah menginjak angka 75 tahun. Namun Cokro tidak pernah mengizinkan karyawan yang sudah tua itu berhenti dari pekerjaannya. Dengan alasan masih membutuhkan karyawan yang rajin bekerja.
Sampai kejadian itupun terjadi. Kemarin sore pak Turno harus membetulkan listrik yang mati. Padahal jelas, itu bukan menjadi kewajibannya. Namun bukan pak Turno namanya jika ia tak peduli dengan lingkungan perusahaan. Karena baginya dari sanalah ia mendapatkan penghidupan selama ini.Â
Anak istrinya bisa makan dan bisa menyekolahkan anak-anaknya hingga ke perguruan tinggi. Yang ia tahu, ia harus terus mengabdi jika memang atasannya belum mengizinkannya berhenti bekerja.
Meskipun hampir setiap hari ia selalu mendapatkan cacian dan sasaran kemarahan. Karena sudah renta geraknya sudah tidak gesit lagi. Pak Turno sering dimarahi oleh Cokro.Â
Namun baginya itu bukanlah apa-apa, ia tidak memasukkannya ke hati secara berlebihan. Bekerja puluhan tahun bersama Cokro dan ayahnya, telah lebih dari cukup untuk mengenal karakter mereka. Jadi sudah tidak ada yang perlu dijadikan kesakitan hati terlalu lama. Ia sudah terlalu biasa menelannya bulat-bulat, atau memasukannya dari telinga kanan dan keluar melalui telinga kiri.
Menurut bi Minem penjual nasi uduk di kantin perusahaan, ia menyaksikan pak Turno yang sudah tua naik ke tangga untuk menjangkau tempat yang lebih tinggi. Kemudian perutnya yang lapar memberi sinyal, ke kepala.Â
Ia merasa begitu pusing, dan hilang keseimbangan. Badannya terjungkal ke belakang, jatuh tepental. Kepalanya berdarah, kemudaian dilarikan ke rumah sakit terdekat dan meninggal di perjalanan. Kematian yang menyedihkan untuk seorang pekerja setia.
Sore itu adalah sore yang paling menyakitkan bagi seluruh warga perusahaan. Seorang karyawan yang paling setia sekaligus sosok bapak yang sabar dan pekerja keras harus meninggal dunia di depan mata. Tangisan pecah membanjiri pabrik sore itu. Terkecuali Cokro, sama sekali wajahnya tidak dihinggapi oleh kesedihan.
Cokro, ia memang berhati baja. Bahkan mungkin ia tidak lagi memiliki hati sekalipun. Kalian tahu kenapa aku berkata demikian? Karena di sore berikutnya saat rapat persiapan kegiatan tahun ajaran baru berlagsung, di saat tanah kuburan Pak Turno masih basah, Cokro berkata bahwa Turno memang karyawan setia, saking setianya bahkan ia akan mau menjilati zuburnya sebagai atasan. Sekarang ia barsyukur jika Turno yang bodoh dan tolol itu telah meningal.
Tangannya yang penuh dengan cincin batu akik tak pernah turun dari pinggannngya. Telunjukknya yang tak pernah berhenti menunjuk-nunjuk seolah begitu senang menunjuk-nunjuk.
Hati semua peserta rapat menangis. Beberapa dari mereka terutama rekan kerja yang paling dekat tak mampu membendung air mata. Mereka menagis sedih. Tak seharusnya Pak Turno dikatakan begitu. Ia adalah orang yang paling soleh dan baik kepada setiap orang.Â
Kala itu, sebagian besar hadirin tidak habis pikir, setan apa yang telah merasuki tubuh Cokro selama ini. Banyak hati yang menangis, banyak bibir yang mengucap ribuan doa. Semoga Cokro segera sadar akan erbuatannya, dan tidak jarang beberapa doa tanpa sengaja terucap agar Cokro segera menerima balasan yang setimpal atas perbuatan-perbuatan jahatnya kepada semua orang.
Adzan magrib berkumandang, terdengar bersahutan dengan suara hujan yang masih deras. Suara pidato Cokro sudah tidak terdengar lagi. Hanya dialog yang terjadi dalam hati masing-masing. Bagaimana caranya segera pulang.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H