Mohon tunggu...
Diantika IE
Diantika IE Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Penulis, Blogger, Guru, Alumnus Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Menulis di Blog Pribadi https://ruangpena.id/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Cokro

17 Oktober 2018   21:19 Diperbarui: 18 Oktober 2018   00:11 1707
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: pixabay

Anak istrinya bisa makan dan bisa menyekolahkan anak-anaknya hingga ke perguruan tinggi. Yang ia tahu, ia harus terus mengabdi jika memang atasannya belum mengizinkannya berhenti bekerja.

Meskipun hampir setiap hari ia selalu mendapatkan cacian dan sasaran kemarahan. Karena sudah renta geraknya sudah tidak gesit lagi. Pak Turno sering dimarahi oleh Cokro. 

Namun baginya itu bukanlah apa-apa, ia tidak memasukkannya ke hati secara berlebihan. Bekerja puluhan tahun bersama Cokro dan ayahnya, telah lebih dari cukup untuk mengenal karakter mereka. Jadi sudah tidak ada yang perlu dijadikan kesakitan hati terlalu lama. Ia sudah terlalu biasa menelannya bulat-bulat, atau memasukannya dari telinga kanan dan keluar melalui telinga kiri.

Menurut bi Minem penjual nasi uduk di kantin perusahaan, ia menyaksikan pak Turno yang sudah tua naik ke tangga untuk menjangkau tempat yang lebih tinggi. Kemudian perutnya yang lapar memberi sinyal, ke kepala. 

Ia merasa begitu pusing, dan hilang keseimbangan. Badannya terjungkal ke belakang, jatuh tepental. Kepalanya berdarah, kemudaian dilarikan ke rumah sakit terdekat dan meninggal di perjalanan. Kematian yang menyedihkan untuk seorang pekerja setia.

Sore itu adalah sore yang paling menyakitkan bagi seluruh warga perusahaan. Seorang karyawan yang paling setia sekaligus sosok bapak yang sabar dan pekerja keras harus meninggal dunia di depan mata. Tangisan pecah membanjiri pabrik sore itu. Terkecuali Cokro, sama sekali wajahnya tidak dihinggapi oleh kesedihan.

Cokro, ia memang berhati baja. Bahkan mungkin ia tidak lagi memiliki hati sekalipun. Kalian tahu kenapa aku berkata demikian? Karena di sore berikutnya saat rapat persiapan kegiatan tahun ajaran baru berlagsung, di saat tanah kuburan Pak Turno masih basah, Cokro berkata bahwa Turno memang karyawan setia, saking setianya bahkan ia akan mau menjilati zuburnya sebagai atasan. Sekarang ia barsyukur jika Turno yang bodoh dan tolol itu telah meningal.

Tangannya yang penuh dengan cincin batu akik tak pernah turun dari pinggannngya. Telunjukknya yang tak pernah berhenti menunjuk-nunjuk seolah begitu senang menunjuk-nunjuk.

Hati semua peserta rapat menangis. Beberapa dari mereka terutama rekan kerja yang paling dekat tak mampu membendung air mata. Mereka menagis sedih. Tak seharusnya Pak Turno dikatakan begitu. Ia adalah orang yang paling soleh dan baik kepada setiap orang. 

Kala itu, sebagian besar hadirin tidak habis pikir, setan apa yang telah merasuki tubuh Cokro selama ini. Banyak hati yang menangis, banyak bibir yang mengucap ribuan doa. Semoga Cokro segera sadar akan erbuatannya, dan tidak jarang beberapa doa tanpa sengaja terucap agar Cokro segera menerima balasan yang setimpal atas perbuatan-perbuatan jahatnya kepada semua orang.

Adzan magrib berkumandang, terdengar bersahutan dengan suara hujan yang masih deras. Suara pidato Cokro sudah tidak terdengar lagi. Hanya dialog yang terjadi dalam hati masing-masing. Bagaimana caranya segera pulang. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun